REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pada 2012 ini, boleh dibilang menjadi tahun yang tidak mengenakkan bagi pasar modal Indonesia. Meski, kondisinya bukan seluruhnya 'kreasi' dalam negeri, melainkan ekspor dari luar negeri, namun diperkirakan kondisi pasar modal dalam negeri akan mengalami 'pergolakan.
Pangkalnya, tidak lain, karena nilai tukar rupiah terhadap dolar diprediksi akan berada dalam kondisi tertekan. Dan penyebabnya, adalah pelemahan Euro yang mendasari penguatan dolar global.
Kepala Ekonom Bahana Investment Management menilai pelemahan euro sangat terkait dengan peliknya penanganan krisisi utang negara di Eropa dan risiko sistemik krisis perbankan. Daya tarik dolar juga diperkuat oleh relatif membaiknya ekonomi AS menjelang pelaksanaan pemilu presiden 2012.
"Tekanan atas Rupiah juga disebabkan perubahan sentimen global atas obligasi negara berkembang, termasuk Indonesia," katanya, Kamis (19/1).
Hal ini, papar dia, sejalan juga dengan memburuknya risiko kredit negara di Eropa, diikuti dengan Credit default Swap (CDS) Indonesia yang juga memburuk meski didukung rasio utang atas pendapatan perkapita yang lebih rendah. "Buruknya CDS ini berisiko memperlemah rupiah bila memicu investor asing melepas SUN yang kepemilikannya dominan," ujarnya.
Tekanan terhadap rupiah juga berasal dari membesarnya risiko defisit neraca pembayaran. Pasalnya penerimaan ekspor akan melambat sejalan dengan resesi global.
Sementara impor terus melaju sejalan dengan pertumbuhan ekonomi domestik. Dengan demikian, hingga akhir tahun, Bahana memperkirakan nilai tukar rupiah sekitar Rp 8.758. "Angka proyeksi kami berada antara proyeksi pemerintah Rp 8.800 dan konsensus Bloomberg sebanyak Rp 8.600," pungkasnya.