REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG – Bank Indonesia (BI) menilai perbankan nasional akan tahan menghadapi krisis global.
Menurut Deputi Gubernur BI Bidang Pengaturan dan Penelitian Perbankan, Muliaman D Hadad, secara fundamental perbankan Tanah Air cukup kuat menghadapi ancaman dampak krisis yang melanda sejumlah negara, akhir-akhir ini. "Ini dilihat dari berbagai macam indikator," katanya saat ditemui sejumlah wartawan dalam diskusi Transparansi Produk Perlindungan dan Mediasi Nasabah Perbankan, Sabtu (24/9).
Baik aspek kecukupan modal (capital adequacy ratio atau CAR) dan likuiditas, perbankan nasional masih menunjukkan performa yang cukup baik. Hal ini juga terlihat dari jumlah kredit bermasalah yang minim. Dari rencanan bisnis bank (RBB), terjadi pertumbuhan kredit dari 23,5 persen menjadi 24,3 persen.
Peningkatan kredit terutama didominasi kredit produktif seperti investasi dan modal kerja. Hal ini menyebabkan edit value yang lebih banyak sehingga menambah agregat supply (pasokan).
Untuk kredit konsumsi, meski tak sebesar produktif, pertumbuhan juga dinilai masih wajar. "Di beberapa Bank Pembangunan Daerah (BPD) misalnya, kredit juga masih cukup baik," kata Hadad.
Ia mensinyalir pelunasan kredit terus berjalan melalui pemotongan gaji bulanan pegawai negeri sipil (PNS) karena rata-rata nasabah kredit ini berasal dari pemerintahan daerah. Sementara itu, eksposur perbankan nasional terhadap portopolio Eropa dan Amerika juga jauh di bawah lima persen. "Mudah-mudahan bisa fokus dan membantu mesin ekonomi nasional terus berjalan," ujarnya.
Meski demikian, kata dia, kehati-hatian masih harus dilakukan. Ancaman krisis global tidak bisa dianggap remeh mengingat adanya kemungkinan eskalasi persoalan di Eropa dan Amerika. Walau bukan dampak langsung, dampak tak langsung bisa saja terjadi.
Untuk modal misalnya, perbankan harus mampu menjaga kecukupan modal sesuai dengan angka yang dipatok BI yakni 17 persen. Namun belum ada agenda untuk meningkatkan batas minimal rasio kecukupan modal dalam waktu dekat.