REPUBLIKA.CO.ID,
JAKARTA - Bank Indonesia menyiapkan beberapa langkah untuk mengantisipasi dampak krisis global yang diprediksi akan terjadi terkait ketidakseimbangan dan proses pelambatan pertumbuhan ekonomi global. "Dari pemantauan BI, hingga saat ini stabilitas sistem keuangan kita masih tetap terjaga dengan baik. Meski demikian, kesiagaan guna menghadapi krisis juga terus ditingkatkan," kata Peneliti Utama Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan, Suhaedi, dalam acara diskusi di Center for Strategic and International Studies (CSIS), Jakarta, Selasa.
Menurut paparan Suhaedi, prospek perekonomian global lebih lambat dari perkiraan semula, sehingga akan berdampak pada prospek perekonomian Indonesia, terutama pada 2012 dan tahun-tahun selanjutnya.
Pertumbuhan ekonomi dunia diperkirakan akan lebih rendah dari 4,3 persen per tahun menjadi 4,2 persen pada 2011, sementara pada 2012 perkiraan awal 4,5 persen akan turun menjadi 4 persen. "Turunnya rating Amerika Serikat sangat mewarnai perkembangan ekonomi global baru-baru ini, akibatnya prospek ekonomi global masih menjadi tanda tanya," kata Suhaedi.
Menurut Suhaedi beberapa langkah kebijakan yang disiapkan Bank Indonesia, di antaranya pembentukan Jaring Pengaman Sistem Keuangan yang terlegitimasi UU, protokol manajemen krisis, penguatan kerja sama ASEAN +3, perbaikan "good corporate governance" (GCG), dan kebijakan mendorong peran intermediasi perbankan.
Meski demikian, Suhaedi menjamin kesiapan sistem perbankan Indonesia jika krisis global tersebut benar-benar terjadi dalam waktu dekat.
"Kinerja perbankan saat ini masih dalam status baik, pertumbuhan kredit masih sangat tinggi dengan angka pertumbuhan atas 24 persen, sehingga optimisme agar kredit tumbuh lebih tinggi lagi masih relevan," katanya.
Banyak pihak yang memprediksi terjadinya bubble ekonomi berikutnya dalam waktu dekat, seiring pertumbuhan ekonomi yang terjadi di Amerika Serikat dan Eropa yang belum diikuti oleh penciptaan lapangan kerja yang memadai.
Krisis tersebut dikhawatirkan berdampak terhadap sektor perbankan seperti halnya yang terjadi pada 1996-1997, ketika krisis kredit perumahan (subprime mortgage crisis) di AS yang diakibatkan lemahnya regulasi keuangan dan tingginya keterkaitan sektor keuangan antar negara, khususnya produk derivatif keuangan, memiliki dampak yang sangat kuat sehingga krisis negara maju meluas ke sejumlah negara berkembang.