REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Anggota Komisi IV DPR, Rofi Munawar, menilai impor beras yang dilakukan Badan urusan logistik (Bulog) sudah semakin tidak terkendali. Kondisi itu terjadi setelah Bulog melakukan persetujuan impor beras dari Vietnam sebanyak 500.000 ton pada pekan lalu (20/7).
Kebijakan ini, ujarnya di Jakarta, Rabu (27/7), untuk kesekian kalinya merugikan petani dalam negeri. Pasalnya keputusan mengimpor beras diambil seiring dengan harga beras yang bergerak naik menjelang bulan suci Ramadhan.
Saat ini beras kualitas sedang yang biasanya dijual antara 6.800-7.000 rupiah/Kg, kini melonjak hingga 8.500 rupiah/Kg. Bahkan, beras kualitas terbaik yang dulu hanya 8.000 rupiah/Kg, kini naik hingga 12.000 rupiah/Kg.
Menurut politisi PKS itu, Direktur Bulog menyatakan bahwa dalam menghadapi kenaikan harga beras menjelang puasa dan lebaran ini, Bulog tidak akan membatasi jumlah beras yang digelontorkan pada operasi pasar, agar harga tetap stabil.
"Operasi pasar memang perlu dilakukan untuk menstabilkan harga, tetapi operasi pasar yang masif harus di imbangi dengan daya serap yang tinggi pula di tingkat petani. Karena jika tidak seimbang stok akan cepat habis," ujarnya.
Fenomena ini, menurut dia, selalu berujung pada alasan klasik bahwa Bulog harus melakukan importasi guna mengamankan stok. Untuk mengamankan stok beras seharusnya Bulog melakukan manajemen stok yang lebih baik, di sisi lain lebih kreatif menyerap gabah petani.
"Bulog tidak perlu melakukan impor, data BPS menunjukan bahwa produksi dalam negeri cukup dan masa panen masih berlangsung di banyak tempat. Badan Pusat Statistik menyebutkan produksi beras berdasarkan angka ramalan II naik 2,4 persen," ujarnya.
Kurang Menyerap Gabah Petani
Terkait hal itu, menurut dia, Bulog harus lebih agresif menyerap gabah dari petani dan jika perlu para Kepala Divre Bulog turun menjemput dan meyakinkan petani untuk menjual gabahnya," tegasnya. Selain itu akses harus dibuka luas untuk petani guna menjual gabahnya langsung kepada Bulog tanpa perantara.
Serapan Bulog dilihat masih rendah di banyak Divisi Regional (Divre), sampai dengan pertengahan juli masih sekitar 20 persen. Seperti Jawa timur yang menjadi salah satu lumbung beras nasional, Bulog yang ditargetkan menyerap 1.150.000 ton pada 2011.
Hingga memasuki bulan Juli ini serapan di Jawa Timur hanya mencapai 23 persen saja. Bahkan ironisnya Bulog ditengarai malah tidak mau membeli gabah petani karena alasan gudang telah penuh.
Tak Berpihak pada Petani Lokal
Melihat harga beras Vietnam yang rata-rata mencapai 500 dolar AS per ton, menurut Rofi, impor beras itu menghabiskan Rp2,1 triliun dan artinya Bulog lebih memilih menyejahterakan petani Vietnam.
"Ini sekali lagi bukti bahwa pemerintah tidak berpihak kepada petani dalam negeri. Sebagai catatan saat ini panen petani masih berlangsung sampai bulan Agustus dan memasuki masa tanam September. Sementara masa paceklik diperkirakan akan masuk pada Oktober, November dan Desember, namun itu bisa diantisipasi jika serapan Bulog optimal," ujarnya.
Lebih lanjut dia mempertanyakan jika BPS dan Kementerian Pertanian sudah meyakinkan bahwa panen berjalan optimal dan produksi beras naik, lalu atas alasan apa Bulog "ngotot" mengimpor beras dari Vietnam.
Berdasarkan data Kementerian Pertanian, terdapat tiga provinsi yang mencatat surplus padi yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan. Pada 2011, terdapat 10 provinsi yang menjadi sentra produksi padi terbesar yaitu Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, Sumatera Barat, Banten, dan Nusa Tenggara Barat.