REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Asosiasi Gabungan Pengusaha dan Obat Tradisiobal (GP Jamu) mengeluhkan kelangkaan bahan baku jamu yang mengakibatkan harganya meningkat pesat.
"Perlu adanya upaya penyelamatan bahna jamu yang saat ini perlahan telah menjadi langka. Secara ekonomis kelangkaan tersebut telah menyebabkan kenaikan harga yang sulit dihindari," Kata Ketua Umum GP Jamu, Charles Saerang, dalam pembukaan musyawarah nasional GP Jamu di Gedung II Istana Wakil Presiden, Senin (25/4).
Ia mengatakan, kenaikan harga bahan baku jamu tertinggi dalam enam bulan terakhir ini adalah jahe kering. Dari semula Rp36 ribu/kg naik 400 persen menjadi Rp120 ribu/kg dalam enam bulan terakhir.
Sementara temulawak menngalami kenaikan dari Rp10 ribu/kg menjadi Rp17.500/kg, puyang dari Rp16.500/kg menjadi Rp22 ribu/kg dan Adas dari 26 ribu/kg menjadi 30 ribu/kg.
Ia mengatakan, penyebab kelangkaan tersebut selain adanya cuaca yang tidak menentu juga adanya pembelian bahan baku oleh beberapa negara.
"Bukan hanya karena cuaca tetapi juga karena pembelian dari luar terutama Pakistan dan Bangladesh, karena kebutuhan jahe karena mereka tahu manfaat jahe mereka membeli seenaknya, yang mereka beli itu kualitas satu," katanya.
Selain itu, juga adanya permintaan dari China. "China juga membeli, saya khawatir itu jahe dieprbaiki disana lalu dijual lagi kesini," katanya.
Dengan meningkatnya permintaan dari luar negeri tersebut mebuat industri jahe kini bersaing dengan para penjual bahan baku tersebut. "Ternyata ada pemain di bahan sekarang. mereka ambil bahannya saja bukan nilai tambahnya," katanya.
Ia mengatakan, kondisi ini telah memukul para pengusaha jamu terutama bagi pengusaha industri kecil dan rumah tangga. "Bagi yang kecil akan mati, nanti yang terjadi adalah jamu essence (kimia). Jamu yang berbau jamu tapi bukan jamu. kan mengerikan sekali. ada terobosan merusak citra jamu.," katanya.
Selain, masalah kelangkaan bahan baku, menurut dia, serbuan jamu bahan kimia obat juga merusak citra dan kepercayaan masyarakat terhadap jamu. Hal ini mengakibatkan pasar domestik sulit berkembang.
Ia juga mengeluhkan tidak adanya tindakan tegas terhadap gencarnya iklan herbal dan kilnik asing di berbagai media cetak dan elektronik yang secara bebas mengklaim menyembuhkan berbagai penyakit.
"Hal ini secara jelas telah melanggar aturan periklanan obat tradisional yang dikeluarkan Badan POM yang diberlakukan dengan ketat terhadap industri jamu dalam negeri," katanya.
Ia menambahkan, industri jamu saat ini mampu menyerap 15 juta karyawan. Pada 2010 total omset industri jamu mencapai Rp10 triliun