Kamis 30 Jan 2020 15:30 WIB

Dedi: Bayi Lobster Boleh Dijual, Sama Saja Bunuh Nelayan

Nasib kelautan di Indonesia jangan sampai sama dengan sungai-sungainya.

Rep: Arie Lukihardianti/ Red: Agus Yulianto
Benih lobster.
Foto: dok. KKP
Benih lobster.

REPUBLIKA.CO.ID, PURWAKARTA -- Terkait legalitas penjualan bayi lobster, wakil Ketua Komisi IV DPR Dedi Mulyadi, meminta Menteri Kelautan dan Perikanan untuk berhati-hati merevisi peraturan tersebut. Pasalnya, revisi aturan larangan penangkapan bayi lobster hanya untuk kepentingan jangka pendek dan tidak mempertimbangkan konservasi kelautan.

"Revisi (peraturan KKP) harus hati-hati, harus mempertimbangkan konservasi lingkungan. Bicarakan dengan pakar-pakar kelautan yang berpihak bagi kepentingan nelayan," kata Dedi di Purwakarta, Kamis (30/1).

photo
Dedi Mulyadi.

Menurut Dedi, memperjuangkan kepentingan nelayan itu bukan berarti semua keinginan mereka hari ini harus dipenuhi. Ada aturan yang boleh direvisi dan ada yang tidak.

Aturan yang diharapkan tidak boleh direvisi adalah terkait legalitas penjualan bayi lobster. Aturan itu tercantum dalam Peraturan Menteri (Permen) KP No 56 tahun 2016 yang menyebutkan larangan penangkapan bayi lobster, kepiting, dan rajungan.

Menurutnya, jika bayi lobster dijual, maka Indonesia akan mengalami kekurangan bibit yang tentu saja akan merusakan masa depan kelautan.

Dedi menyadari, bahwa rencana Menteri Kelautan Edhy Prabowo melakukan revisi Permen KP No 56 itu demi kepentingan nelayan juga. Namun, revisi itu juga harus mempertimbangkan kelestarian ekosistem laut demi masa depan anak dan cucu.

"Logika ingin memakmurkan nelayan itu harus seiring dan sejalan dengan logika menjaga konservasi kelautan. Karena kalau logikanya digunakan untuk memakmurkan tanpa mempertimbangkan itu (konservasi kelautan) akan membunuh nelayan jangka panjang," kata Dedi.

Dedi mencontohkan, bayi lobster diperbolehkan ditangkap dan diperjualbelikan, maka mereka akan kehilangan lobster yang jauh lebih ekonomis. "Lobster itu harganya Rp 4 juta. Tapi bayi lobster itu cuma ratusan ribu. Coba mending pilih mana," katanya.

Lalu ke depan, kata Dedi, Indonesia akan mengalami krisis bayi lobster. Sementara negara lain akan menjadi penghasil lobster terbesar di dunia.

Dikatakan Dedi, di negara mana pun, termasuk negara maju, soal kelautan ada aturannya dan diterapkan secara tegas. Ikan apa yang boleh ditangkap dan mana yang dilarang ditangkap.

"Di negara-negara tertentu diatur bahwa waktu musim ikan bertelur, tak boleh dipancing," kata Dedi.

Apalagi kata Dedi, nasib kelautan di Indonesia jangan sampai sama dengan sungai-sungainya karena tak ada aturan yang jelas dan tegas. Saat ini, kata dia, ikan-ikan asli sungai di Indonesia sudah hampir punah.

"Sekarang cek sungai dan danau-danau, ada ikan aslinya nggak? Karena dulu habis diportas dan disetrum hingga menyebabkan ikan-ikan kecilnya mati," katanya.

Laut juga akan mengalami nasib serupa kalau tak ada pengendalian. Pengendalian itu berdampak bagi nelayan itu sendiri.

"Kalau kita berpikir hanya jangka pendek sekarang, terus jangka panjang bagaimana?" kata mantan bupati Purwakarta dua periode tersebut.

Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo akan merevisi 29 peraturan menteri untuk meningkatkan tangkapan ikan di laut Indonesia. Menurut Edhy, revisi tersebut dilakukan karena banyak peraturan menteri yang tak berpihak kepada masyarakat. Salah satu contohnya adalah larangan penjualan baby lobster.

"Mereka duduk seharian mendapatkan baby lobster. Baby lobster itu dijual Rp 3.000 per ekor. Kalau ada pekerjaan lain, mana mungkin mereka mau duduk berhari-hari menangkap baby lobster. Kita boleh bikin kebijakan, tapi dampak kebijakan ke masyarakat apa? Saya tidak mau populer, saya hanya ingin masyarakat makmur," kata Edhy.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement