REPUBLIKA.CO.ID,MEDAN--Peringatan 100 tahun industri kelapa sawit Indonesia yang digelar Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia di Medan, 28-30 Maret 2011 diharapkan meningkatkan kepedulian dan rasa memiliki semua kalangan atas tanaman itu yang sudah memberi manfaat besar. "Dari awalnya dianggap tanaman hias, dewasa ini sawit sudah memberikan kehidupan kepada rakyat, pengusaha dan pendapatan yang besar bagi pemerintah. Sudah seharusnya semua 'stake holder' peduli dan bersama-sama melawan isu negatif sawit itu dari negara pesaing," kata Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Sumut, Balaman Tarigan, di Medan, Senin.
Tanaman sawit di Indonesia dimulai pada tahun 1911 di daerah Tanah Iram Ulu sekarang di Kabupaten Asahan, Sumut yang dibuka oleh perusahaan Jerman dan satu lainnya di Pulo Raja, Asahan oleh pengusaha Begia. Sumut juga menjadi daerah pengekspor pertama minyak sawit Indonesia yang dilakukan pada tahun 1916.
Menurut dia, kepedulian atas kelangsungan perkebunan dan industri hilir sawit itu sudah semakin mendesak mengingat negara pesaing diyakini masih akan terus berupaya membuat isu-isu negative atas tanaman dan produk yang dihasilkannya. Sawit khususnya di Indonesia dianggap merupakan saingan berat karena selain peluang pengembangan areal dan produktivitasnya masih sangat memungkinkan, juga soal biaya produksi komoditas itu yang lebih murah ketimbang minyak nabati lainnya.
Industri minyak kelapa sawit misalnya adalah yang paling efisien dibandingkan dengan industri minyak nabati lainnya. Harga jual minyak sawit-pun paling kompetitif dibandingkan dengan harga minyak nabati lainnya, meski harganya juga mengalami fluktuasi seperti halnya komoditas lainya.
Bahkan, hasil penelitian menyebutkan, produktivitas minyak sawit lebih tiggi dari tanaman penghasil minyak nabati lainnya. Di satu sisi, minyak sawit yang bukan hanya untuk produk panganan tetapi juga bisa dijadikan bahan energi itu semakin dibutuhkan berbagai negara.
"Isu negatf tentang sawit yang sudah dimulai pada tahun 1980 oleh Asosiasi Minyak Kedelai Amerika Serikat (ASA) diyakini kuat masih akan terus bergulir dan bahkan semakin gencar sehingga perlu diatasi bersama-sama," katanya.
Kalau awalnya ASA menyatakan minyak sawit mengandung kolestrol yang membahayakan kesehatan, maka dewasa ini isu lebih dititik beratkan pada gangguan lingkungan seperti merusak hutan, menggangu habitat fauna dan flora. Padahal hal itu tidak benar, apalagi sebagian besar perusahaan nasional bahkan sudah menjadi anggota RSPO yang dibuat Eropa dan bahkan sudah mengantongi sertifikat RSPO itu. "Dipastikan isu negatif merupakan trik dagang," katanya.
Oleh karena itu pula, kata dia, dalam peringatan 100 tahun sawit di Indonesia, acara tersebut lebih menonjolkan bukti-bukti bahwa tanaman sawit itu benar bermanfaat termasuk tidak mengganggu lingkungan. Dia memberi contoh, pembukaan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Padang Lawas Utara dan Selatan (pemekaran dari Kabupaten Tapanuli Selatan), Sumut, malah membuat curah hujan di daerah itu semakin banyak.
Acara peringatan 100 tahun sawit di Indonesia itu diharapkan bisa semakin membuka mata semua khususnya pemerintah dan LSM asing bahwai perkebunan kelapa sawit tidak menimbulkan efek jelek bahkan menguntungkan, katanya.