Selasa 14 Dec 2010 00:40 WIB

Pergeseran LPJK Menjadi OJK Dipertanyakan

REPUBLIKA.CO.ID, KUPANG--Pengamat ekonomi dan keuangan dari Universitas Indonesia, Muslimin Anwar mengatakan pemerintah dan DPR perlu menjelaskan kepada publik alasan pergeseran pembentukan Lembaga Pengawas Jasa Keuangan (LPJK) menjadi Otoritas Jasa Keuangan (OJK). "Saat ini entah disengaja atau tidak, pembahasan RUU menjadi bergeser dari sekedar pengawas (RUU-LPJK) menjadi otoritas (RUU-OJK)," katanya.

"Ini harus dijelaskan kepada publik," kata Dosen Program Magister Fakultas Ekonomi UI melalui surat elektronik, di Kupang, Senin (13/12). Menurut dia, pemerintah dan DPR berpotensi melanggar pasal 34 UU-BI karena dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa pada akhir 2010 ini, yang harus terbentuk itu Lembaga Pengawas Jasa Keuangan (LPJK) bukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Seyogyanya, kata dia prinsip dasar dan mekanisme kerja LPJK adalah sama dengan pemeriksaan yg dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) terhadap perusahaan/perbankan. "Jadi substansinya adalah pemeriksaan bukan otoritas. Sekarang ini sangat kentara sekali pembahasannya merambah kemana-mana untuk membuat lembaga yang sangat super power, mulai dari mengatur, memeriksa, mengawasi, membina, bahkan sampai dengan menyidik," katanya.

Dia mengatakan pemusatan kekuasaan sektor keuangan pada lembaga OJK ini akan mengakibatkan BI berpotensi tidak mungkin bisa mengemban amanat pasal 23 (b) dan 23 (d) UUD-45 yang dijabarkan dalam UU-BI pasal 7 dan 8 dimana BI hanya dapat mencapai tujuan mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah melalui tiga pilar.

Tiga pilar itu, salah satunya adalah mengatur dan mengawasi bank, disamping kebijakan moneter dan sistem pembayaran. "Apabila salah satu tugasnya yaitu mengatur dan mengawasi perbankan diambil atau dialihfungsikan ke lembaga lain maka akan memiliki konsekuensi logis bahwa amanat pasal 7 UU BI itu, yaitu tujuan mencapai dan memelihara kestabilkan nilai rupiah menjadi sulit terwujud,"paparnya.

Dia mengatakan pemusatan sektor keuangan pada OJK seperti itu juga akan berdampak besar terhadap peluang terjadinya kejahatan money laundering, korupsi dan rekayasa keuangan yang semakin sulit diberantas. Terbentuknya OJK juga sama sekali tidak akan menjamin bahwa Indonesia aman dari krisis finansial.

"Justeru saat ini yang sesungguhnya kita butuhkan secara mendesak adalah kehadiran RUU JPSK (Jaring Pengaman Sistem Keuangan) yang belum jelas perkembangannya, bukan OJK yang cakupannya relatif lebih kecil dari RUU-JPSK tersebut," katanya.

Bisa dibayangkan, apabila gambaran besar mengenai sistem keuangan kita belum dirumuskan namun unit baru yang ada di dalamnya sudah lebih dulu ditetapkan. "Besar kemungkinan akan terjadi tambal sulam, bongkar pasang, atau trial and error yang tidak perlu dan memerlukan ongkos yang sangat besar," katanya.

Selain itu, pemenuhan SDM (Sumber Daya Manusia) OJK tidak bisa dilakukan dengan cara pemaksaan karena berpotensi melanggar HAM. "Pada prinsipnya

pegawai BI adalah abdi negara bukan abdi dalam. Mereka adalah profesional yang juga memiliki hak untuk menerima atau menolak penugasan," katanya.

sumber : antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement