REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Rencana pemerintah untuk mengalihkan hot money ke obligasi infrastruktur patut dicermati secara hati-hati. Selain faktor cost of doing business indonesia yang belum baik, pengalihan tersebut dapat menyebabkan crowding out pasar.
Demikian disampaikan oleh Peneliti Pusat Penelitian (Puslit) Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesi (LIPI), Latif Adam, ketika dihubungi Republika, Ahad (21/11). Menurutnya investor akan mengalihkan atau menanamkan modalnya ke sektor riil karena dua hal penting, yakni cost of doing business dan kepastian hukum.
Biaya untuk menjalankan bisnis di Indonesia, lanjut Latif, harus terus diperbaiki. Jangan ada lagi pungutan-pungutan yang memberatkan pengusaha “Seperti ada alokasi untuk uang lobi,” katanya.
Selain itu, masalah kepastian hukum perlu dibenahi. Apa yang dilakukan pemerintah dengan merevisi sejumlah peraturan perundangan pada kenyataannya sering tidak dijalankan. “Jadi bukan sekedar perbaikan tapi implementasinya,” kata dia.
Soal rencana pemerintah dengan memberikan yield (imbal hasil) yang lebih tinggi ke obligasi infrastruktur dibandingkan investasi di portofolio juga patut dicermati. Pasalnya, menurut Latif dengan yield yang lebih besar tersebut ditakutkan dapat menimbulkan crowding out pasar.
Artinya dengan yield yang tinggi itu, semua aliran dana akan lari ke obligasi pemerintah karena menjanjikan yield yang besar. Sementara obligasi Swasta menjadi tidak berkembang. “Ini masalahnya swasta menjadi tidak kebagian,” ucapnya.