REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Komisi V DPR RI mempertanyakan penetapan jumlah PSO dalam RAPBN 2011 yang mencapai Rp 773 miliar untuk PT KAI dan Rp 900 miliar untuk PT Pelni karena penentuan anggaran itu seharusnya didasarkan pada kebutuhan riil.
"Soal PSO ini, kami ingin mengetahui seberapa besar sesungguhnya biaya yang dibutuhkan oleh PT Pelni dan PT KAI agar bisa melaksanakan tugas yang diberikan pada mereka untuk melayani kelas ekonomi," tegas Muhidin, Wakil ketua Komisi V DPR RI di Gedung DPR Jakarta, Rabu (20/10).
Anggota komisi V lainnya, Abdul Hakim juga meminta agar penetapan jumlah PSO untuk PT KAI dan PT Pelni dilakukan sesuai dengan UU No. 23/2007 tentang perkeretaapian dan UU No. 17/2008 tentang Pelayaran.
"UU No.23/2007 Pasal 153 ayat (1) ditegaskan bahwa pemerintah memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan angkutan kereta api kepada masyarakat dengan tariff yang terjangkau dan itu diwujudkan dalam kewajiban memberikan pelayanan public (PSO) berupa subsidi. Pemberian subsidi ini harus dihitung dan disesuaikan dengan beban tugas yang diberikan pada PT KAI dalam memberikan pelayanan," tutur Hakim.
Anggota Komisi V lainnya, Fary D. Francis juga setuju agar penetapan PSO bagi kedua BUMN yang melayani sektor transportasi itu dihitung dan disesuaikan dengan beban tugas yang diemban PT KAI dan PT Pelni. Namun, katanya, PSO yang diberikan pada PT KAI dan PT Pelni harus tetap dievaluasi khususnya dalam hal pendistribusiannya.
"Soal PSO, komisi V mendukung PSO untuk lebih besar dari pagu yang ada. Tapi persoalan yang muncul harus ada evaluasi PSO dan pendistribusiannya," ujar politisi Gerindra tersebut.
Kalangan anggota Komisi V juga meminta Kemenhub untuk meningkatkan alokasi anggaran untuk keselamatan trasnportasi. Mereka menilai usulan komisi V agar Kemenhub meningkatkan alokasi anggaran untuk keselamatan transportasi belum terakomodir dengan baik.
"Memang ada prestasi Kemenhub dalam peningkatan penurunan angka kecelakaan. Tapi ekspektasi kami adalah prestasi yang lebih baik dan roadmap to zero accident itu benar-benar terlaksana. Karena itu, perlu ada langkah-langkah yang harus dilakukan, misalnya dari sisi regulasi dan penyiapan SDM yang handal," tegas Hakim.
Hal ini, sekretaris FPKS itu menambahkan, tentu berdampak pada regulasinya dan penambahan anggaran. "Karena itu harus ada perhatian kita untuk menambah alokasi untuk roadmap to zero accident. Dan sejauh ini, apa saja yang sudah dilakukan pemerintah sebagai regulator?" tanya Hakim lagi.
Menurut dia, program 'road map to zero accident' yang dicanangkan pemerintah masih belum menunjukan perbaikan. Angka kecelakaan seluruh moda transportasi mulai dari kereta api hingga moda transportasi darat masih tinggi. Bahkan, angka kerugian material akibat kecelakaan yang terjadi selama penyelenggaraan mudik lebaran tahun 2010 diprediksi mencapai Rp 4,17 miliar lebih.