REPUBLIKA.CO.ID,WASHINGTON--Amerika Serikat pada Jumat menunda menerbitkan sebuah laporan kontroversial tentang mata uang Cina sampai setelah pertemuan G20 pada pertengahan November, menghindari konfrontasi antara kedua negara adidaya. Laporan, yang bisa memberi label Cina sebagai manipulator mata uang dan membuka jalan bagi sanksi AS pada barang-barang Cina, rencananya akan diumumkan pada Jumat.
Penundaan menghindari prospek sengketa perdagangan sengit antara dua kekuatan, yang telah berhadapan atas tuduhan bahwa Beijing membuat yuan "undervalued" (di bawah nilai sebenarnya) untuk
memperoleh keuntungan perdagangan yang tidak adil. Ketegangan mata uang mendidih pada pertemuan tahunan Dana Moneter Internasional (IMF), dengan Cina menolak desakan untuk revaluasi cepat yuan.
Namun menjelang pertemuan Kelompok 20, Departemen Keuangan memperdengarkan suasana bersifat mendamaikan, mengakui "tindakan Cina sejak awal September untuk mempercepat laju apresiasi mata uang, sambil mengingatkan adalah penting untuk mempertahankan tujuan ini." Sebuah nilai yuan yang lebih tinggi akan membuat ekspor Cina lebih mahal dan ekspor dari negara-negara lain yang lebih kompetitif.
Menteri Keuangan Timothy Geithner berada di bawah tekanan dari pembuat undang-undang AS untuk bergerak ke arah sanksi terhadap barang-barang Cina, setelah keengganan Beijing untuk mengubah sikap, tetapi sejak September, katanya, hal-hal itu telah berubah. "Sejak 2 September 2010, laju apresiasi telah dipercepat ke
tingkat lebih dari satu persen per bulan. Jika berkelanjutan dari waktu ke waktu, ini akan membantu memperbaiki apa yang IMF telah simpulkan adalah sebuah mata uang yang "undervalued" signifikan," kata pernyataan itu.
Menurut angka Departemen Keuangan, yuan telah menguat sekitar tiga persen sejak Beijing berjanji untuk membiarkan nilai mata uangnya meningkat pada Juni. Tetapi kepuasan Departemen Keuangan tidak dimiliki oleh anggota parlemen AS, hanya beberapa minggu sebelum pemilihan lokal. "Hal ini tidak wajar bagi saya bahwa Departemen Keuangan telah kembali memilih untuk menunda," kata anggota Kongres Demokrat Mike Michaud, yang memimpin kelompok kerja perdagangan DPR.
"Keputusan mereka untuk melakukannya hanya menggarisbawahi keengganan pemerintah untuk bersikap keras pada kebijakan mata uang Cina yang tidak adil." Tetapi meskipun Departemen Keuangan mengubah pendirian, masalah ini kembali diperkirakan dapat mendominasi serangkaian pertemuan dari para pemimpin G20, para menteri ekonomi dan gubernur bank sentral bulan depan.
Eropa, Jepang dan Amerika Serikat semua telah menekan Cina untuk merombak kebijakan yuan lemah, sementara beralih ke ekonomi yang kurang didorong ekspor yang akan merangsang permintaan domestik.
"Pertemuan-pertemuan ini menyediakan kesempatan untuk membuat kemajuan tambahan pada tantangan penting untuk mengamankan pertumbuhan kuat dan lebih seimbang," departemen keuangan mengatakan.