REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG--Kebutuhan garam nasional masih tergantung dengan garam impor dari luar negeri. Pada 2008 saja, sebanyak 63 persen kebutuhan nasional masih dipasok dari luar negeri. Alasan yang kerap dikemukakan, garam lokal tidak memiliki kualitas yang baik, kotor, dan lembek.
Direktur produsen garam, BDS Harmoni, Idrus Zen, menyatakan, pemerintah tidak serius dalam membantu atau memberdayakan serta mendorong produktivitas dan kualitas produksi garam nasional. Hal ini dapat dilihat dari harga jual garam lokal yang hanya Rp 150 per kilogram, sangat jauh jika dibandingkan dengan harga di pasar modern yang sebesar Rp 5 ribu per kilogram.
Idrus menilai, berbagai bantuan pemerintah seperti bantuan mesin, hanya membuang-buang anggaran tanpa kejelasan pemanfaatannya. Sentra produksi garam di Indramayu pun selama tiga tahun terakhir ini belum mendapatkan perhatian.
''Tapi kebijakan impor garam masih terus dipertahankan. Padahal, garam produksi lokal dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri,'' ungkap Idrus dalam pers realease yang dikirimkan kepada Republika, Selasa (17/8).
Selain itu, Idrus mengungkapkan, kecurigaannya kepada pemerintah terkait kebijakan tersebut. Pertama, kebijakan penyerapan garam rakyat/petani yang dituangkan dalam SK Mendag No 44/ 2007 tidak berlaku bagi perusahaan afiliasi Australia, PT Cheetam Indonesia. Padahal impor garam Australia mencapai 90 persen dari kebutuhan garam nasional.
Kedua, pemerintah tidak mendorong perusahaan makanan yang membutuhkan garam konsumsi yodium untuk menggunakan garam lokal, meski telah memenuhi syarat prakualifikasi. Ketiga, adanya keinginan pemerintah untuk mendorong Australia mengalihkan teknologi produksi garam dengan mendirikan demplot seperti di Sampang, Madura, Jawa Timur.
Keempat, teknologi yang telah dikembangkan Indramayu telah menghasilkan kualitas garam dengan standar impor dengan tingkat produktivitas yang jauh lebih tinggi. Namun teknologi tersebut tidak ada perhatian dari pemerintah.
''Semangat untuk mengembangkan produksi garam lokal, malah datang dari Kementerian Kelautan dan Perikanan yang menargetkan pada 2012, berhenti impor garam konsumsi dan tiga tahun kemudian tidak lagi mengimpor garam industri. Namun sayangnya tidak ada koordinasi antarsektoral,'' keluh Idrus.