REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Proyeksi pertumbuhan ekonomi 2010 sebesar enam persen dianggap terlalu rendah. Sejak awal penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pun angka pertumbuhan itu diyakini bisa tercapai. Pada semester pertama 2010, angka pertumbuhan mencapai 5,8 persen.
Ekonom Universitas Indonesia, Faisal Basri, menilai seharusnya pertumbuhan ekonomi 6 persen sudah diraih sejak kuarta pertama. "Capaian pertumbuhan 6 persen pada kuartal kedua bukan suatu hal yang susah. Merem itu mah. Tak ada ada pemerintah juga bisa tumbuh," tutur Faisal Basri di Jakarta, Kamis (12/8).
Faisal menambahkan, ketidakberhasilan mencapai angka pertumbuhan 6 persen lebih disebabkan belanja pemerintah yang lambat. "Angka enam persen sesungguhnya dalam genggaman tapi hilang begitu saja karena belanja pemerintah minus 8,8 persen. Padahal, ekspor dan investasi sudah bagus," tutur Faisal.
Menurut anggota Komisi XI DPR, Arif Budimanta, sejak awal penyusunan asumsi makro APBN P 2010 sebetulnya mereka (pemerintah) sudah mengetahui angka pertumbuhan tersebut bisa mencapai 6 persen. Bahkan DPR telah mendorong supaya angka pertumbuhan ditingkatkan menjadi 6,5 atau 7 persen.
Namun sayangnya pemerintah cenderung mengambil angka yang lebih pesimis, yakni 5,8 persen. "Saya konsultasikan ke beragam pihak dan itu memang bisa mencapai 6 persen, Jadi gini sisanya itu 0,2 persen itu bisa jadi prestasi mereka," ujar politisi FPDIP tersebut di kantor Menko Perekonomian.
Arif mengungkapkan peningkatan angka pertumbuhan tentu harus diikuti dengan penciptaan lapangan pekerjaan. Sebagaimana telah disepakati sebelumnya, peningkatan pertumbuhan ekonomi per 1 persen lebih kurang menyerap sebesar 400 ribu orang. Arif menanyakan pertanggungjawabannya terhadap pengurangan angka pengangguran dan kemiskinan.
Di sisi lain, tingkat pemerintah pertumbuhan juga harus diperhatikan oleh pemerintah. Harus diakui, kata dia, pertumbuhan ekonomi saat ini sekitar 80 persen berada di pulau Jawa dan Sumatra. Menurut dia, pemerataan pembangunan didaerah bisa dilakukan dengan cara memperbaiki pola tranfer daerah. Pasalnya, lanjut Arif, 50 persen porsi anggaran yang disalurkan digunakan untuk belanja pegawai. Sementara porsi untuk belanja modal masih sangat sedikit. "Harus ada formulasi baru tapi yang sifatnya tidak memberatkan.