Kamis 22 Jul 2010 03:49 WIB

Ekspor Kerajinan Indonesia Meningkat 18 Persen

Rep: Yulianingsih/ Red: Krisman Purwoko

REPUBLIKA.CO.ID,YOGYAKARTA--Pasca krisis global tahun 2009, ekspor kerajinan di Indonesia ke beberapa negara tujuan di dunia mulai menunjukan peningkatan. Bahkan menurut Kepala Badan Pengembangan Ekspor Nasional (BPEN) Hesti Indah Kresnarini nilai ekspor kerajinan dari Januari hingga Maret 2010 ini sudah meningkat 18,25 persen dibandingkan tahun 2009 menjadi sebesar US$ 143 juta.

Padahal kata dia, ekspor produk kerajinan Indonesia mengaami penurunan di tahun 2009 yang hanya US$ 568,8 juta, nilai ekspor ini menurun sebesar 0,3 persen dibandingkan 2008 lalu. "Tahun ini mulai mengalami peningkatan," terangnya saat membuka Pameran textile dan handicraft (Texcraf) yang digelar di Jogja Expo Center (JEC) Yogyakarta, Kamis (21/7).

Pameran itupun diikuti oleh para perajin dari Indonesia dan ada yang dari Malaysia. Pameran yang akan berlangsung hingga 25 Juli 2010 itupun menampilkan 179 stand kerajinan dan textile.

Diakui Hesti, ada lima negara yang menjadi tujuan ekspor kerajinan terbesar dari Indonesia. Kelima negara tersebut adalah Amerika Serikat, Jerman, Prancis, dan Australia.

Diakuinya, selain nilai ekspor kerajinan, angka nilai ekspor tekstil peningkatan di awal tahun 2010 ini. Hingga periode Januari sampai Maret 2010 peningkatan eksport textile cukup signifikan yaitu naik sebesar 18,85 persen atau sebesar US$ 2,56 miliar dari tahun 2009 lalu.

Padahal akibat dampak krisis global, nilai ekspor tekstil tahun 2009 juga mengalami penurunan hingga 8,67 persen dibandingkan 2008 lalu yaitu sebesar Rp 9,26 miliar. “Meningkatnya nilai ekspor tentu membawa angin segar bagi dunia usaha di tanah air. Apalagi, dampak krisis global pada 2008 lalu masih dirasakan sebagian industri,” tambahnya.

Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengkubuwono X dalam sambutannya yang dibacakan Wakil Gubernur DIY, Sri Paku Alam IX mengatakan, tekstil tidak saja memiliki dimensi fungsional, namun juga menjadi prasasti penting karena menjadi media pengungkapan nilai-nilai dan simbol yang pernah hidup dan menghidupi sejarah etnis. “Produk budaya tersebut semakin kaya makna ketika dijadikan sebagai busana,” terangnya.

Melalui pameran tersebut, pihaknya berharap bulan hanya dijadikan ajang pemasaran tekstil sebagai upaya ekonomi, namun juga untuk memperteguh tekstil sebagai identitas bangsa, serta menjadi media mempererat rasa kebangsaan.

Dampak krisis global ternyata cukup signifikan bagi pengusaha yang bergerak dibidang eksport di DI Yogyakarta. Bahkan berdasarkan data di Bank Indonesia (BI) Yogyakarta selama tahun 2009 lalu nilai ekspor DIY mengalami pertumbuhan negatif sebesar 16, 5 persen. Terpisah Kepala BI Yogyakarta Sutikno mengatakan, selama tahun 2009 lalu kinerja perdagangan internasional DIY melambat. "Nilai ekspor tumbuh negatif yang juga diikuti pertumbuhan import yang turun 48,02 persen atau mencapai US$ 26,36 juta dibandingkan tahun 2008 lalu," paparnya.

Penurunan impor tersebut disebabkan karena menurunnya permintaan barang ekpor dari DIY. Akibatnya impor barang baku yang biasa dilakukan pengusaha DIY juga mengalami penurunan. Selama ini kata dia, ada dua komoditas impor utama ke DIY yaitu bahan baku susu dan mesin pertanian. Untuk impor bahan baku susu turun 41,62 persen dan impor mesin pertanian turun 88,25 persen.

Sedangkan komoditas ekspor utama DIY kata Sutikno, lebih didominasi oleh pakaian jadi tekstil dan mebel kayu. Komoditas kulit samak juga banyak diekpor meski tak sebanyak tekstil. Namun begitu kata dia, selama tahun 2009, komoditas kulit samak justru masik mencatat pertumbuhan ekspor yang cukup tinggi meskipun secara umum pertumbuhan ekspor DIY menurun.

Pertumbuhan ekspor kulit samak selama tahun 2009 mencapai 69,8 persen. Amerika Serikat, Jepang dan Prancis tetap menjadi tujuan utama produk ekspor dari DIY. Pasar India dan Jerman juga menyumbang cukup tinggi nilai ekport produk DIY. Meskipun tekstil menyumbang nilai tinggi ekspor DIY, tetapi nilai impor tekstil DIY juga maish tinggi. Bahkan tahun 2009, impor tektil DIY justru masih tumbuh positif padahal ekpor tekstil tumbuh negatif.

"Hal ini mengindikasikan bahwa impor tektil DIY tidak hanya berwujud bahan baku tekstil tetapi kemungkinan juga berwujud pakaian jadi. Jika hal ini dibiarkan terus akan mengganggu kelangsungan industri pakaian jadi tekstil lokal," tegasnya.

Berdasarkan negara asal, pangsa terbesar impor DIY selama tahun 2009 adalah RRC (Cina) sebesar 24,81 persen, New Zealand 21,87 persen dan Korea Selatan 21,96 persen.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement