REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Importir mengeluhkan penafsiran peraturan Surat Keterangan Asal (SKA) yang kerap mengambang. Padahal, SKA dibutuhkan agar bisa memanfaatkan tarif preferensial, termasuk pembebasan bea masuk (BM), dalam skema perjanjian perdagangan bebas (Free Trade Agreement/FTA).
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia bidang Kebijakan Publik, Fiskal, dan Moneter, Hariyadi Sukamdani, mengatakan, sosialisasi peraturan mengenai SKA tersebut juga tidak mendapat sosialisasi yang cukup hingga menimbulkan kebingungan di kalangan importir.
"Akibatnya importir terkena nota pembetulan (notul) dan harus membayar BM sesuai tarif yang berlaku sebelum pemberlakuan kesepakatan perdagangan bebas kedua kawasan," jelasnya kepada wartawan di Menara Kadin, Kamis (8/7).
Ketidakjelasan dalam peraturan penerbitan SKA ini di antaranya perihal batas waktu. Dalam peraturan disebutkan, SKA untuk FTA dengan Jepang (Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement/IJEPA) harus dibuat "by the time or not later than three days after departure". Padahal, dalam SKA untuk FTA lain, mengharuskan "at the time".
Potensi kerugian akibat masalah ini, kata Hariyadi, cukup besar. Satu perusahaan importir harus membayar BM sebesar Rp 92 miliar karena tidak bisa mendapatkan pembebasan tarif. Dampak lain, karena mayoritas barang yang diimpor merupakan bahan baku dan penolong, industri menjadi tidak kompetitif. "Untuk itu Kadin berharap kebijakan Ditjen Bea Cukai tentang SKA yang termuat dalam SE-05/BC/2010 dapat ditunda sementara dan dilakukan sosialisasi kepada para pelaku usaha," jelasnya.
Guna menyelesaikan masalah ini, kata Hariyadi, pihaknya sudah menemui pejabat Kementerian Perdagangan dan Ditjen Bea Cukai Kementerian Keuangan untuk meminta tenggang waktu (grace period). Hal ini lantaran, pihak importir merasa belum diberikan sosialisasi yang memadai tentang SKA.
"Akhirnya Menteri Perdagangan sepakat untuk menunda pemberlakuan SE Ditjen BC soal pelaksanaan penelitian pemberitahuan impor barang sampai 1 Agustus untuk FTA selain dengan Jepang. Kami harap penundaan ini bisa berlaku secepatnya," ucapnya.
Walau demikian, Hariyadi mengakui memang terdapat sejumlah kecil SKA yang bermasalah hingga harus mendapatkan notul. Namun, tidak seberapa jika dibandingkan yang terkendala hanya dari sisi administrasinya. "Lima sampai enam importir, dari ribuan yang ada, memang melakukan kesalahan fatal dan SKA-nya tidak betul," jelasnya.
Sebelumnya, Direktur Informasi Kepabeanan Ditjen BC Susiwijono menilai pelampiran SKA lebih dari tiga hari sejak pengapalan masih diperbolehkan. Asalkan mendapat stempel asli dari otoritas penerbit SKA dari negara asal impor. Dia pun menekankan, pemerintah telah mensosialisasi aturan tersebut berulang kali.