REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Pemerintah akan memberlakukan Standar Nasional Indonesia (SNI) Wajib untuk rubber seal tabung gas pada tahun ini. Pemberlakuan SNI wajib ini diharapkan bisa meminimalisasi peluang kecelakaan akibat tabung gas.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Kemenperin Dedi Mulyadi mengatakan, pihaknya akan melakukan langkah terobosan agar bisa memberlakukan SNI ini secepatnya. "Sekarang kita sedang menyusun SNI rubber seal, pokoknya kita percepat, harus tahun ini. Walaupun prosesnya panjang tapi kita wajibkan dulu baru prosesnya berjalan," katanya ketika ditemui wartawan, Senin (5/7).
Menurut Dedi, setelah SNI rubber seal jadi, ada tahap-tahap yang masih harus ditempuh sebelum bisa diberlakukan secara wajib. Misalnya, fase melakukan notifikasi ke World Trade Organization (WTO) dan pemberitahuan ke negara-negara lain yang memakan waktu dua bulan. Namun, agar lebih cepat, SNI rubber seal akan diberlakukan wajib walau proses notifikasi masih berlangsung. "Jadi bersama-sama saja," jelasnya.
Dedi menduga, banyaknya kasus kecelakaan gas akibat perilaku masyarakat yang tidak sadar dan tertib dalam menggunakan perlengkapan. Misalnya, pengoplosan tabung elpiji ukuran tiga kilogram ke ukuran 12 kilogram yang menyebabkan katupnya longgar akibat sering dipaksa mengeluarkan gas. "Padahal itu berbahaya. Kalau sampai longgar ketika dipakai oleh yang lain bisa menyebabkan kebocoran," ucapnya.
Selain itu, kata Dedi, terdapat perbedaan konsistensi standar saat program konversi tabung gas dilakukan untuk pertama kali dengan saat sudah bergulir seperti sekarang. Waktu itu, karena keterbatasan kemampuan produksi di dalam negeri, pemerintah mengadakan perlengkapan gas impor. "Waktu itu, SNI-nya hanya uji. Produsennya di luar negeri tidak diperiksa. Tapi kalau barangnya memenuhi standar, barang itu bisa dapat SPPT SNI," jelasnya.
Sedangkan, menurut Dedi, saat ini produsen perlengkapan gas harus menjalani lima pengujian untuk bisa mendapatkan tanda SNI. "Sekarang kan ada jenis seleksi yang melihat apakah produk itu memenuhi ISO 9.000 atau tidak, fluktuasi mutu dari barang yang beredar bisa terjadi," paparnya.
Menanggapi usulan BPPT yang mengusulkan desain kompor gas baru, Dedi menilai hal tersebut tidak efisien karena sulit diadaptasi oleh masyarakat. "Kebiasaaan yang pada akhirnya jadi budaya, dari dulu sudah kita pertimbangkan usulan itu, tapi tidak efisien, karena ada faktor-faktor lain yang membuat masyarakat tidak mudah untuk mengadaptasi itu," imbuhnya.