REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Perum Perumnas tetap mempertahankan harga unit apartemen "Central Point" tatkala sejumlah pengembang menaikkan harga sebagai akibat perubahan pola subsidi kredit pemilikan rumah/apartemen (KPR/KPA). "Kami masih mempertahankan harga Rp108,9 juta untuk tipe terendah sampai Rp158,4 juta untuk tipe tertinggi," kata Direktur Pemasaran Perum Perumnas, Teddy Robinson, di Jakarta, Senin.
Akibat harganya yang murah tersebut membuat dua menara apartemen masing-masing 435 unit yang dibangun pada tahap I sudah terjual 95 persen, kata Teddy menjelaskan. Masyarakat sangat antusias dengan peluncuran dua menara yang saat ini sudah memasuki tahap pekerjaan penutupan atap (topping off). "Kami berharap pada bulan Oktober 2010 sudah dapat serah terima, lebih cepat dua bulan dari perkiraan awal," ujarnya.
Teddy mengatakan pihaknya belum menetapkan harga untuk pembangunan tahap selanjutnya dari Apartemen "Central Point" yang berlokasi di dekat pintu tol Bekasi karena masih menunggu kebijakan bunga murah yang diluncurkan pemerintah pada awal Juli 2010. Namun, dia optimistis penjualan apartemen tahap II ini akan mendulang sukses yang sama dengan pembangunan apartemen tahap I mengingat lokasinya yang sangat strategis.
Menurut Teddy, harga ideal untuk apartemen dengan kelas seperti Central Point seharusnya sekitar Rp5 juta per meter persegi, tetapi untuk tahap I dan II tersebut Perumnas hanya mematok Rp4 juta per meter persegi.
Apartemen Central Point merupakan hasil kerja sama dengan PT Triputra Multi Graha selaku penyandang dana dengan Perum Perumnas sebagai pemilik lahan seluas 1,3 hektare.
Sementara itu, Direktur Utama Perum Perumnas Himawan Arief mengatakan pada tahun 2010 pihaknya merencanakan membangun 20.000 unit rumah dan apartemen pada tahun 2010. Himawan mengharapkan pemerintah dapat segera merealisasikan undang-undang mengenai perumahan dan permukiman sebagai payung hukum keberadaan Perum Perumnas sebagai "National Housing and Urban Development Company" (NHUD).
Keberadaan lembaga seperti NHUD sudah banyak diadopsi di negara-negara maju, seperti Singapura, Thailand, Cina, dan Jepang, untuk memberikan kepastian kelangsungan pengadaan rumah bagi masyarakatnya.