REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA—-Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengecam keputusan pemerintah terkait kenaikan tarif ruas tol SS Waru-Juanda (Tol Bandara Surabaya) yang berlaku mulai Senin (7/6).
Pengurus Harian YLKI, Sudaryatmo, mengatakan, selama ini pemerintah hanya mendasarkan kenaikan tarif tol pada Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan, yaitu Pasal 48 mengenai tarif tol dan penyesuaiannya.
Pasal 48 ayat 3 menyebutkan, evaluasi dan penyesuaian tarif tol dilakukan setiap dua tahun sekali berdasarkan laju inflasi. Pasal ini dijadikan senjata bagi para operator jalan tol untuk mengajukan kenaikan tarif. “Masalah inflasi ini jadi tolok ukur utama, padahal seharusnya tidak serta-merta naik setiap dua tahun sekali,” ujar Sudaryatmo kepada Republika, Senin (7/6).
Sudaryatmo menanggapi kenaikan tarif sekitar 10 persen pada Tol Bandara Surabaya. Menurut Badan Pengelola Jalan Tol (BPJT), tahun ini ada empat ruas jalan tol yang bakal mengalami kenaikan tarif lantaran menyesuaikan laju inflasi.
Kecuali SS Waru-Juanda, tiga ruas jalan tol lain yang akan mengalami kenaikan tarif adalah Jakarta-Cikampek, Prof. Dr. Ir. Sedyatmo/Tol Bandara, dan Makassar Seksi Empat.
Sudaryatmo melanjutkan, pemerintah hendaknya tidak membaca aturan tentang kenaikan tarif tol secara letter look. Kecuali UU 38/2004, kata Sudaryatmo, penyesuaian tarif tol juga merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 mengenai Jalan Tol. PP 15 mensyaratkan adanya evaluasi setiap dua tahun sebelum melakukan penyesuaian tarif. Evaluasi mengacu pada terpenuhi atau tidaknya Standar Pelayanan Minimal (SPM) jalan tol seperti tertuang dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 392/PRT/M/2005.
Sayangnya, kata Sudaryatmo, Permen PU 392/2005 menitikberatkan SPM pada baik-buruknya penyediaan infrastruktur jalan. Padahal, di beberapa negara lain, SPM menilai seluruh aspek pelayanan di jalan tol yang meliputi infrastruktur jalan, efisiensi operasional jalan tol, laju lalu lintas di dalam tol, panjang antrean kendaraan di gerbang tol, dan waktu transaksi per kendaraan di gerbang tol.
“Aspek ini harusnya dilihat semua, bukan cuma kondisi jalan dan inflasi saja,” imbuh Sudaryatmo.“Jadi soal kenaikan tarif tol ini memang sudah tidak adil dari peraturannya, baik undang-undang, peraturan pemeirntah, sampai permen PU,” sambung Sudaryatmo.
Karena itu, Sudaryatmo melanjutkan, YLKI mendesak pemerintah dan DPR agar segera merevisi UU 38/2004 agar konsumen sebagai pengguna jalan tol mendapatkan keadilan. “Konsumen harus juga mendapat untung karena menggunakan jalan tol, jangan hanya dibebani tarif yang selalu naik tapi pelayanannya tidak diberikan,” tegas Sudaryatmo.
Tanpa adanya perubahan mendasar pada regulasi jalan tol, Sudaryatmo meyakini, maka ketidakadilan di jalan tol akan terus berlangsung dan konsumen adalah pihak yang dirugikan oleh operator.
Anggota Komisi V DPR dari Fraksi PKS, Abdul Hakim, menambahkan, dewan akan memahami keputusan pemerintah menaikkan tarif jalan tol apabila evaluasi terhadap SPM benar-benar dilakukan secara cermat.“Ini kan masalahnya SPM tidak terpenuhi, tapi tarif tetap dinaikkan,” kata Abdul Hakim.
Apabila operator jalan tol tidak berhasil memenuhi SPM, lanjut Abdul Hakim, maka sebenarnya pemerintah bisa tidak mengabulkan permohonan kenaikan tarif tol yang diajukan operator.
Kepada operator, Abdul Hakim mengimbau, hendaknya tidak hanya menuntut hak penyesuaian tarif namun tidak pernah menjalankan kewajiban memberikan pelayanan yang baik kepada konsumen. “Jangan hanya menuntut hak, tapi kewajiban diabaikan.”
Ihwal kelemahan regulasi jalan, Abdul Hakim melanjutkan, DPR sudah menyerap aspirasi dari sejumlah kalangan termasuk akademisi, YLKI dan pengguna jalan tol. Karena itu, DPR mengusulkan agar UU Jalan direvisi secara terbatas dengan memperhatikan keadilan bagi konsumen.
Namun demikian, kata Abdul Hakim, pembahasan tentang revisi UU Jalan belum bisa dilakukan pada masa sidang sekarang lantaran ada prioritas revisi UU yang lain. “Masa sidang sekarang kita tidak bahas revisi UU Jalan. Sekarang Komisi V fokus pada penyelesaian revisi UU 4 Tahun 1993 tentang Perumahan Pemukiman dan Rumah Susun,” tandas Abdul Hakim.