REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG – Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menyiapkan Program Penjaminan Polis (PPP) sebagai perlindungan baru bagi pemegang polis mulai 2028. Namun, LPS menilai tantangan paling mendasar bukan hanya pada kesiapan sistem, tetapi juga rendahnya penetrasi asuransi nasional yang masih tertinggal dari negara kawasan.
Anggota Dewan Komisioner LPS Bidang Program Penjaminan Polis, Ferdinan D Purba, mengatakan persiapan teknis dan kelembagaan PPP kini memasuki tahap pematangan. “Sekarang kita sedang menetapkan persiapan untuk aktivasi program penjaminan polis asuransi. Itu yang direncanakan diaktifkan tahun 2028. Tapi tetap membuka kemungkinan itu bisa dipercepat mungkin ke 2027,” kata Purba dalam Acara Literasi Keuangan dan Berasuransi, dikutip pada Senin (8/12/2025).
PPP merupakan mandat baru LPS dalam skema perlindungan terintegrasi (integrated protection scheme) yang tercantum dalam UU P2SK. Aturan tersebut menugaskan LPS menyelenggarakan PPP lima tahun sejak undang-undang berlaku, yakni mulai 12 Januari 2028. Purba menegaskan langkah ini dirancang untuk memperkuat kepercayaan publik terhadap industri asuransi.
“Karena memang program penjaminan polis ini akan sangat berarti, sangat penting. Tidak saja kepada masyarakat, tidak saja kepada pemegang polis, tapi juga kepada industri asuransi itu sendiri,” ujarnya.
Purba menjelaskan, pembangunan PPP membutuhkan fondasi kelembagaan yang belum pernah dimiliki industri asuransi. LPS masih berada pada fase merancang sistem dari awal, berbeda dengan penjaminan simpanan yang telah mapan. Karena itu pemerintah memutuskan menempatkan PPP di LPS untuk menghindari pembentukan lembaga baru yang memulai dari nol.
"Bagaimana membangun infrastruktur TI-nya, bagaimana membangun sistem SDM-nya, bagaimana membangun sistem keuangannya itu harus dibangun dari nol. Sementara kalau ini digabungkan di dalam satu lembaga menjadi sistem terintegrasi, efisiensinya bisa lebih tinggi,” kata dia.
Industri asuransi juga akan memiliki kewajiban pendanaan melalui premi, sejalan dengan praktik penjaminan di sektor keuangan. “Tapi pasti ada juga karena aktivasi program ini nanti akan disertai dengan pendanaan yang harus dibayarkan atau dipartisipasikan oleh industri, dalam hal ini perusahaan asuransi, dalam bentuk premi seperti itu,” ujarnya. LPS kini menyiapkan simulasi untuk memastikan besaran premi sepadan dengan manfaat perlindungan.
Selain kesiapan sistem, tantangan besar datang dari kondisi pasar. Data LPS menunjukkan tingkat penetrasi asuransi Indonesia pada 2024 hanya sekitar 1,4, jauh tertinggal dibanding Malaysia, Singapura, Thailand, bahkan Filipina. Purba menyebut kondisi itu sebagai sinyal bahwa industri asuransi belum optimal berperan dalam ekosistem keuangan nasional.
Masalah penetrasi juga berkaitan dengan pekerjaan literasi dan akses keuangan. LPS mencatat 16,7 juta penduduk usia 15–69 tahun belum memiliki rekening simpanan per September 2025. Kelompok ini dianggap sebagai ceruk besar bagi pertumbuhan layanan keuangan, termasuk asuransi, yang diharapkan akan ikut terdorong oleh hadirnya PPP.
Terkait cakupan perlindungan, LPS mengacu pada praktik terbaik internasional dengan target sebagian besar polis masuk skema penjaminan. “Cakupan penjaminannya, kalau mengacu pada best practice, itu 90 persen, minimal 90 persen dari polis yang ada di industri ini,” kata Purba. Namun batas nilai dan kategori produk yang dijamin masih menunggu Peraturan Pemerintah, sementara LPS menyiapkan usulan dan simulasi kebijakan.
Dengan mandat resmi mulai 2028, LPS menilai masa persiapan menjadi momentum untuk memperkuat ekosistem perlindungan konsumen dan menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap industri asuransi. Bila percepatan ke 2027 disepakati melalui revisi UU P2SK, LPS menyatakan siap, selama pekerjaan rumah terkait literasi dan penetrasi asuransi tetap menjadi prioritas.