REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Bencana yang terjadi di sejumlah daerah di Pulau Sumatera disinyalir menimbulkan dampak ekonomi yang tidak kecil. Pengamat menilai, bencana yang meluluhlantakkan sebagian wilayah Aceh, Sumatera Utara (Sumut), dan Sumatera Barat (Sumbar) itu bisa menciptakan kemiskinan dan pengangguran baru.
“Banjir bandang dan longsor di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat bukan peristiwa lokal yang bisa dianggap lewat begitu saja. Bencana ini menghantam inti kekuatan ekonomi rakyat: rumah, sawah, ladang, dan usaha kecil yang selama puluhan tahun keluarga bangun dari sisa gaji dan hasil panen,” kata Pengamat ekonomi dari Universitas Andalas Syafruddin Karimi kepada Republika, Sabtu (6/12/2025).
Syafruddin menuturkan, bagi jutaan warga di tiga provinsi tersebut, rumah bukan hanya alamat, tetapi tabungan seumur hidup dan jaminan hari tua. Sawah dan ladang adalah seperti ‘pabrik’ keluarga yang tidak pernah pindah, tempat nafkah mengalir dari musim ke musim.
“Ketika air bah dan longsor menyapu ribuan rumah dan lahan dalam hitungan jam, proses pemiskinan terjadi otomatis. Keluarga yang semula hidup pas-pasan langsung jatuh ke jurang kemiskinan baru,” ujarnya.
Bencana yang menyapu ketiga provinsi tersebut menyebabkan, tabungan masyarakat hilang, barang berharga ikut hanyut, surat berharga dan dokumen usaha tertimbun lumpur. Di desa, kerap kali rumah sering sekaligus berfungsi sebagai warung, kios pupuk, tempat produksi makanan ringan, atau bengkel sederhana. Saat bangunan itu rusak berat, satu pukulan meruntuhkan beberapa sumber pendapatan sekaligus.
“Dampak terhadap pengangguran tidak kalah serius. Buruh harian, pedagang kecil, sopir angkot, pekerja pariwisata, dan buruh tani kehilangan pekerjaan dalam waktu sangat singkat,” lanjut Syafruddin.
Menurutnya, perusahaan kecil dan menengah menutup usahanya karena gudang terendam, persediaan rusak, dan akses jalan terputus. Banyak pengusaha tidak sanggup membayar gaji, sehingga mereka merumahkan karyawan.
Adapun, di sektor pertanian, petani tidak bisa turun ke sawah karena jaringan irigasi jebol dan jalan usaha tani terputus. Buruh tani yang menggantungkan hidup pada upah harian, juga kehilangan sumber nafkah tanpa cadangan.
“Kondisi ini jelas akan menggerakkan angka kemiskinan dan pengangguran ke arah yang tidak diinginkan,” tegasnya.
Syafruddin menambahkan, statistik resmi memang baru akan mencatat kenaikan itu beberapa bulan ke depan, tetapi di lapangan prosesnya sudah berjalan. Gambarannya, keluarga mulai mengurangi porsi makan, menunda berobat, menarik anak dari sekolah berbayar, dan menjual sisa aset yang masih tersisa.
Sementara itu, pelaku usaha kecil mengurangi jam kerja, memecat karyawan, atau berhenti berjualan sama sekali. Rantai ekonomi lokal di kampung dan kota kecil di Sumatera melemah, lalu menarik turun PDRB daerah.
“Dalam situasi seberat ini, pernyataan pejabat di tingkat pusat yang seakan meremehkan dampak bencana terhadap target pertumbuhan ekonomi nasional terasa menyakitkan. Tiga provinsi itu selama ini tercatat jelas dalam angka PDB nasional,” Syfaruddin menambahkan.