REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Industri entertainment Indonesia kini bukan hanya menjadi sumber hiburan. Dari layar sinema, panggung musik, hingga gim interaktif, karya kreatif anak bangsa telah menjadi sarana soft power yang memperkenalkan identitas nasional ke audiens global.
Hal ini menjadi fokus dalam acara Power Lunch bertema “Membangun Percakapan Global Lewat Entertainment” yang diselenggarakan GDP Venture pada Rabu (8/10/2025) lalu, di Jakarta. Acara tersebut menghadirkan sejumlah narasumber, di antaranya Martin Hartono (CEO GDP Venture), Angga Dwimas Sasongko (CEO Visinema), Arief Widhiyasa (Co-founder Agate & CEO Confiction Labs), serta Suwandi Ahmad (Chief Data Officer Lokadata.id) yang memaparkan data tren entertainment di Indonesia
Data Lokadata (2025) menunjukkan sektor ekonomi kreatif berkontribusi sekitar Rp1.300 triliun terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional atau 7,8 persen dari total ekonomi Indonesia, dengan lebih dari 24 juta tenaga kerja di dalamnya. Subsektor film, musik, dan gim menjadi motor utama pertumbuhan, menyumbang sekitar 25 persen dari total nilai ekonomi kreatif nasional, seiring meningkatnya konsumsi konten lokal dan tren experience-driven economy di kalangan generasi muda.
Chief Data Officer Lokadata.id, Suwandi Ahmad, menjelaskan entertainment kini menjadi arena pembentukan identitas. "Generasi muda berperan bukan hanya sebagai penikmat, melainkan juga kreator yakni membuat, meniru, membagikan ulang, dan menjadi bagian dari percakapan global," ujarnya dalam siaran pers yang diterima Republika.
Survei Lokadata juga menunjukkan 95 persen anak muda Indonesia mendengarkan musik secara daring setiap hari, dengan 40 persen di antaranya menghabiskan waktu lebih dari satu jam. Sementara itu, 54 persen menemukan musik baru melalui media sosial, menandakan algoritma digital kini membentuk arus budaya populer baru.
Dalam acara Power Lunch ini, Martin Hartono menekankan soft power memiliki banyak bentuk, tidak hanya lewat film, musik, atau gim, tetapi juga melalui nilai-nilai budaya dan simbol yang dikenal dunia. “Bahkan mata uang yang diterima lintas negara pun merupakan bentuk soft power,” ujarnya.
Martin menegaskan, soft power biasanya tumbuh dari negara maju dengan fondasi ekonomi kuat. Namun, bukan berarti negara berkembang tidak bisa memilikinya. “India menjadi contoh yang berhasil. Mereka dikenal dunia melalui Bollywood-nya. Indonesia juga memiliki potensi serupa dengan kekayaan budaya yang sangat beragam,” katanya.
Dalam konteks musik, GDP Venture melalui 88rising berupaya membangun identitas yang membedakan musisi Indonesia dari arus utama industri global seperti K-pop atau J-pop. Pendekatannya bukan dengan meniru tren, melainkan menghadirkan warna baru yang lahir dari karakter dan nilai khas Indonesia yang justru menjadi daya tarik di mata dunia.
Inisiatif ini dilakukan secara menyeluruh, mulai dari proses pengembangan artistik, pembentukan visi kreatif, produksi, hingga distribusi di pasar global. GDP Venture dan 88rising berhasil menumbuhkan talenta yang kini dikenal di kancah internasional seperti Rich Brian, NIKI, Warren Hue, dan kini grup vokal No Na yang membawa karakter unik musik Indonesia.
“Kami membentuk No Na dengan keyakinan girl group Indonesia bisa melampaui K-pop. Menariknya, data dari Orchid, fanbase No Na, menunjukkan penggemar terbesar kedua mereka justru berasal dari Korea. Hal ini membuktikan bahwa soft power bisa hadir lewat cara yang segar dan relevan bagi audiens global,” ujar Martin.
“Indonesia mampu menciptakan girl group dengan karakter dan penampilan berbeda di setiap anggotanya, sesuatu yang jarang dilakukan di negara lain. Pendekatan ini berhasil karena menunjukkan keaslian dan keberagaman khas Indonesia,” lanjutnya.
Upaya memperkenalkan budaya Indonesia ke kancah dunia juga diperkuat oleh Djarum Foundation. Melalui inisiatif seperti Indonesia Kaya, lembaga ini berperan penting dalam mempopulerkan seni pertunjukan Indonesia. Program Ruang Kreatif: Intensif Musikal Budaya, misalnya, telah melahirkan talenta yang kini tampil di panggung West End, London.