REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat, Djoko Setijowarno, mengatakan program angkutan atau transportasi umum (transum) dengan tarif murah merupakan penyelamat bagi masyarakat di tengah kesulitan ekonomi, melemahnya daya beli, dan tingginya pengangguran. Ia menyebut layanan ini membantu masyarakat tetap beraktivitas tanpa harus mengeluarkan biaya besar sehingga beban harian berkurang.
“Dengan adanya subsidi, masyarakat di wilayah 3T (terdepan, terluar, tertinggal) dapat menikmati akses transportasi yang terjangkau, membuat pergerakan orang dan barang menjadi lebih mudah,” ujar Djoko dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin (8/9/2025).
Djoko menilai Indonesia saat ini sedang menghadapi krisis ekonomi, bukan krisis hubungan keagamaan. Oleh karena itu, ia menyebut pemerintah lebih tepat berdialog dengan para ekonom, bukan tokoh agama.
“Hal ini untuk mencari solusi atas minimnya lapangan kerja dan besarnya angka pemutusan hubungan kerja (PHK),” ucap akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata itu.
Djoko mengingatkan ciri utama negara maju adalah kualitas jaringan transportasi umum, fasilitas pejalan kaki dan pesepeda, serta aksesibilitas bagi penyandang disabilitas dan lansia. Ia menyebut pejabat dan masyarakat di negara maju lazim menggunakan angkutan publik karena jangkauannya luas, bahkan mencakup 90 persen wilayah perkotaan seperti di Jakarta.
Negara maju, lanjut Djoko, juga memiliki angka kecelakaan rendah, partisipasi masyarakat tinggi dalam disiplin berlalu lintas, dan kondisi jalan mantap hingga ke daerah terpencil. Karena itu, ia meminta pemerintah tidak memangkas anggaran infrastruktur, transportasi, dan keselamatan.
“Sebaliknya, masih banyak pos anggaran lain yang bisa dihemat, seperti mengurangi atau menghilangkan fasilitas dan kemewahan yang tidak penting bagi pejabat, mulai dari mobil dinas hingga perjalanan dan pengawalan yang tidak mendesak,” lanjutnya.
Djoko mengatakan target pemerintah dalam pembenahan angkutan umum di 20 kota dalam RPJMN 2025–2029 menghadapi tantangan serius. Anggaran stimulan skema buy the service (BTS) justru terus menyusut, membuat keberhasilan program ini diragukan.

Setelah mencapai puncaknya Rp582,98 miliar pada 2023, alokasi anggaran terus menurun hingga direncanakan hanya Rp80 miliar pada 2026. Pada 2020 sebesar Rp51,83 miliar, 2021 Rp312,25 miliar, 2022 Rp552,91 miliar, 2024 Rp437,89 miliar, dan 2025 Rp177,49 miliar.
Menurut Djoko, ketersediaan angkutan umum erat kaitannya dengan isu kemiskinan, bukan semata-mata kemacetan. Daerah miskin sering kali terisolasi karena sulitnya akses transportasi.
“Sangat disayangkan jika anggaran untuk transportasi umum harus dikorbankan demi mendukung program lain, seperti program Makan Bergizi Gratis. Angkutan umum harus dipandang sebagai alat untuk menjangkau dan memberdayakan kaum yang kurang beruntung,” ujarnya.
Djoko menambahkan angkutan umum yang tidak dikelola dengan baik dapat memicu berbagai masalah sosial. Di beberapa wilayah Jawa Tengah, misalnya, ketiadaan angkutan umum menyebabkan anak-anak putus sekolah.
“Fenomena ini tidak berhenti di situ; angka putus sekolah yang tinggi berkorelasi dengan peningkatan pernikahan dini, yang pada gilirannya berpotensi meningkatkan jumlah kelahiran bayi stunting,” kata Djoko.