Selasa 26 Aug 2025 22:05 WIB

Coretax Dinilai Belum Siap, Bisa Bebani UMKM

Transisi menuju sistem baru perlu memperhatikan kesiapan pelaku usaha.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Ahmad Fikri Noor
Ilustrasi layanan sosialisasi Coretax di Ditjen Pajak.
Foto: Republika/Prayogi
Ilustrasi layanan sosialisasi Coretax di Ditjen Pajak.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ekonom INDEF Aviliani mengingatkan penerapan sistem inti administrasi perpajakan (Coretax) jangan dilakukan secara terburu-buru. Menurut dia, percepatan implementasi sistem baru justru bisa menimbulkan beban tambahan bagi pelaku usaha, khususnya UMKM.

“Penerapan sistem Coretax jangan terburu-buru agar tidak mengganggu sektor usaha,” kata Aviliani dalam Seminar Nasional Seri 5 bertema Meningkatkan Rasio Perpajakan di Tengah Tekanan Ekonomi: Strategi & Solusi, Selasa (26/8/2025).

Baca Juga

Ia menilai, perbaikan administrasi memang penting untuk memperkuat kepatuhan, tetapi transisi menuju sistem baru perlu memperhatikan kesiapan pelaku usaha. “Kalau tidak diantisipasi, UMKM bisa menghadapi beban tambahan dalam menyesuaikan diri dengan sistem Coretax,” ujarnya.

Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak, Yon Arsal, menegaskan tax gap tidak semata karena lemahnya pengawasan. Menurutnya, tax gap terbentuk dari dua faktor: policy gap akibat fasilitas yang memang diputuskan pemerintah, dan administration gap yang terkait dengan kepatuhan serta efektivitas administrasi.

Policy gap muncul karena ada fasilitas pajak, misalnya untuk UMKM, sektor kesehatan, dan pendidikan. Sementara administration gap terkait kepatuhan dan efektivitas administrasi,” kata Yon.

Ia mencontohkan, usaha mikro dengan omzet di bawah Rp500 juta setahun bebas pajak, sedangkan omzet Rp500 juta hingga Rp4,8 miliar hanya dikenai tarif 0,5 persen. “Lebih dari 40 persen belanja perpajakan dinikmati UMKM dan masyarakat kecil,” ujarnya.

Yon juga menyebut pergeseran struktur ekonomi menjadi tantangan sekaligus peluang optimalisasi penerimaan. Untuk itu, pemerintah menyiapkan kebijakan baru, termasuk pajak digital, agar rasio pajak tetap terjaga kredibilitasnya.

Sementara itu, Founder DDTC, Darussalam menyoroti pentingnya komunikasi kebijakan pajak. Menurutnya, resistensi publik bisa muncul jika pencabutan fasilitas tidak dijelaskan dengan benar.

“Kalau narasinya tidak tepat, saat fasilitas dicabut akan muncul resistensi. Jadi seolah-olah ada pajak baru, padahal hanya koreksi kebijakan lama,” ujarnya.

Danny menambahkan, sistem perpajakan Indonesia masih menghadapi empat masalah fundamental, yakni partisipasi publik yang rendah, edukasi belum inklusif, narasi kebijakan minim, dan pengelolaan data yang masih lemah. Struktur penerimaan juga masih timpang karena terlalu bergantung pada PPh badan, sementara kontribusi PPh orang pribadi jauh lebih kecil dibanding negara OECD.

Data Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) mencatat rasio pajak Indonesia berada di peringkat 32 dari 37 negara. Angka ini jauh di bawah rata-rata Asia Pasifik dan Afrika, menandakan basis pajak Indonesia masih sempit dibandingkan negara lain.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement