REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu menegaskan sebagian deviden BUMN memang tidak lagi masuk ke kas negara. Deviden BUMN itu kini masuk ke dompet Danantara untuk direinvestasikan lagi. Hal ini disampaikan Anggito dalam diskusi khusus dengan mantan menteri koordinasi perekonomian Chairul Tanjung, Sabtu (16/8/2025) yang disiarkan di YouTube.
Awalnya Chairul Tanjung bertanya ke Anggito, benarkah deviden BUMN kini tidak lagi masuk ke kas negara. Anggito menjawab, "Benar, sebagian dividen BUMN dialihkan ke Danantara untuk investasi. Jadi, kas negara tidak mendapatkan pemasukan sebesar biasanya dari dividen BUMN."
Lalu, Chairul bertanya kemudian, darimana pemerintah mendapatkan dana untuk menutup kekurangan pengalihan deviden BUMN tersebut? Anggito kembali menjawab, "Pemerintah menutupi kekurangan ini dengan meningkatkan penerimaan dari sektor lain, seperti pajak, bea cukai, dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) lainnya. Selain itu, pemerintah juga berupaya untuk lebih efisien dalam pengelolaan anggaran."
Setoran dividen BUMN masuk ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) melalui pos kekayaan negara dipisahkan (KND) pada PNBP. Per Maret 2025, setoran KND tercatat sebesar Rp 10,9 triliun atau 12,1 persen dari target Rp 90 triliun, terkontraksi 74,6 persen secara tahunan (year-on-year/yoy). Nilai realisasi itu berasal dari pembayaran dividen interim Bank BRI tahun buku 2024.
Bila dibandingkan dengan tahun lalu, pemerintah menerima setoran dividen interim BUMN mencapai Rp 36,1 triliun sepanjang Januari hingga Maret, terutama dari kelompok perbankan. Setoran ini mendorong realisasi PNBP mencapai Rp 42,9 triliun pada kuartal I 2024.
Di bagian lain, Chairul juga bertanya soal strategi pajak pemerintah. Ia bertanya apakah di 2026 pemerintah akan melakukan pengenaan pajak baru? Anggito tegas menjawab tidak ada, tidak ada pada tahun ini dan tahun depan.
Sebelumnya, Menkeu Sri Mulyani memang memastikan tak ada rencana pengenaan jenis pajak baru dalam upaya mengejar kenaikan target penerimaan pajak sebesar 13,5 persen dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026.
“Kebijakan masih mengikuti undang-undang yang ada, seperti UU HPP (Harmonisasi Peraturan Perpajakan) maupun yang ada di dalam UU lainnya. Jadi, apakah ada pajak baru? Tidak,” kata Sri Mulyani dalam Konferensi Pers RAPBN dan Nota Keuangan 2026, di Jakarta, Jumat.
Penerimaan pajak tahun depan ditargetkan sebesar Rp2.357,7 triliun. Sri Mulyani membenarkan angka ini terbilang cukup tinggi dan ambisius.
Untuk menggenjot penerimaan pajak, alih-alih mencari serapan baru dari eksternal, Sri Mulyani bakal lebih menyasar reformasi internal, seperti pemanfaatan Coretax dan sinergi pertukaran data kementerian/lembaga (K/L).
“Itu akan makin diintensifkan. Karena kami melihat ruang untuk peningkatan di antara ketiga penerimaan negara maupun dengan kementerian/lembaga. Makanya pertemuan makin kami intensifkan agar semua data yang kami peroleh itu akurasi dan waktunya menjadi lebih tepat,” ujar Sri Mulyani.
Di samping itu, Sri Mulyani juga bakal mereformasi sistem pemungutan transaksi digital dalam dan luar negeri; joint program dalam analisis data, pengawasan, pemeriksaan, intelijen, dan kepatuhan perpajakan; serta memberikan insentif daya beli, investasi, dan hilirisasi.
Selain target penerimaan yang meningkat, pemerintah juga menetapkan target rasio perpajakan (tax ratio) yang lebih tinggi, yakni sebesar 10,47 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Sebagai perbandingan, rasio perpajakan pada 2023 sebesar 10,31 persen, 2024 sebesar 10,08 persen, dan proyeksi 2025 sebesar 10,03 persen.
Di samping penerimaan pajak, pemerintah juga bakal mendongkrak penerimaan kepabeanan dan cukai yang ditargetkan tumbuh 7,7 persen menjadi Rp334,3 triliun. Maka, penerimaan perpajakan pada RAPBN 2026 ditetapkan sebesar Rp2.692 triliun atau tumbuh 12,8 persen.