Rabu 06 Aug 2025 07:15 WIB

Ekonom Soroti Perbedaan Proyeksi dan Data Pertumbuhan Ekonomi Kuartal II

Angka pertumbuhan ekonomi memicu diskusi soal metodologi dan relevansi data.

Rep: Eva Rianti/ Red: Friska Yolandha
Pengunjung berbelanja di acara Garage Sale Jakarta di Pos Bloc, Jakarta, Ahad (3/8/2025). BPS mencatat ekonomi kuartal II tumbuh 5,12 persen.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Pengunjung berbelanja di acara Garage Sale Jakarta di Pos Bloc, Jakarta, Ahad (3/8/2025). BPS mencatat ekonomi kuartal II tumbuh 5,12 persen.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para ekonom mengkritisi data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan angka pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2025 tembus 5,12 persen. Alih-alih menciptakan optimisme, data tersebut justru disangsikan karena terlalu melampaui prediksi. 

"Pada akhirnya, rilis angka pertumbuhan PDB sebesar 5,12 persen oleh BPS tidak membawa optimisme, melainkan justru menjelma menjadi sumber kecurigaan massal," kata Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat dalam keterangannya kepada wartawan, Selasa (5/8/2025). 

Baca Juga

Menurut hemat Achmad, pengumuman pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) kuartal II 2025 sebesar 5,12 persen bukannya disambut dengan tepuk tangan, justru direspons dengan kerutan di kening atau kebingungan publik. 

"Mengapa? Karena angka tersebut berdiri sendirian, menantang konsensus suram yang telah disuarakan oleh hampir seluruh lembaga kredibel, dari Dana Moneter International (IMF) dan Bank Dunia yang memproyeksikan di kisaran 4,7-4,8 persen, hingga para ekonom domestik yang melihat langsung lesunya denyut nadi perekonomian," ujarnya. 

Achmad menganalisis adanya jurang antara prediksi dan realita. IMF, dalam laporan World Economic Outlook Update edisi Juli 2025, memproyeksikan angka 4,8 persen pada pertumbuhan ekonomi Indonesia. Senada, Bank Dunia melalui Global Economic Prospects edisi Juni 2025 bahkan memberikan estimasi yang lebih konservatif yakni di angka 4,7 persen.

Lalu dari dalam negeri, Bank Indonesia (BI) memberikan rentang proyeksi antara 4,7 persen hingga 5,1 persen. Pemerintah sendiri melalui Kementerian Keuangan, menargetkan pertumbuhan di kisaran 5,0 persen dalam asumsi anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). 

Sementara itu, lembaga riset independen seperti INDEF dan LPEM FEB UI juga memberikan proyeksi yang jauh di bawah realisasi, masing-masing di angka 4,8 persen dan 4,95 persen. 

"Angka realisasi BPS justru melampaui batas atas skenario paling optimis sekalipun," tegasnya. 

Konsensus menunjukkan bahwa para analis, baik global maupun domestik, melihat sinyal pelemahan yang nyata, sebuah sinyal yang menurut Achmad diabaikan oleh angka tunggal BPS. Ia menyebut, kesenjangan yang menganga tersebut lebih dari sekadar selisih statistik. 

"Ia adalah sebuah anomali yang mempertanyakan fondasi paling dasar dari cara kita memahami negara ini: data," terangnya. 

Achmad melanjutkan, narasi resmi BPS yang coba dibangun bahwa sebuah 'tsunami fiskal' dari belanja pemerintah mampu menjadi penyelamat tunggal, dinilai terdengar simplistis dan tidak memadai. Skala perbedaannya terlalu besar untuk dijelaskan hanya oleh satu faktor, seberapapun masifnya faktor tersebut. 

Achmad menuturkan, fundamental yang kini menggantung di benak publik adalah: benarkah daya ungkit belanja pemerintah sedahsyat itu hingga mampu meniadakan dampak gabungan dari lesunya konsumsi, mandeknya investasi swasta, dan anjloknya ekspor?

"Kecurigaan yang beralasan ini secara sah membuka kembali kotak pandora yang selama ini coba ditutup rapat: kemungkinan adanya kelemahan fundamental dalam metodologi BPS, baik yang terjadi karena ketidaksengajaan maupun kesengajaan. Angka 5,12 persen ini bukan lagi sekadar data, ia adalah sebuah potensi krisis kepercayaan," ungkapnya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement