REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ekonom dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Didin S Damanhuri, menilai bahwa gencatan senjata antara Iran dan Israel memberikan dampak positif sementara bagi Indonesia, khususnya dalam pengendalian harga bahan bakar minyak (BBM) dan nilai tukar rupiah. Namun, ia mengingatkan agar pemerintah tetap melakukan mitigasi terhadap potensi eskalasi konflik di kawasan tersebut.
“Untungnya, dengan tekanan dari Presiden AS Donald Trump terhadap Israel, dan karena Iran merasa permintaan gencatan senjata berasal dari AS, Iran akhirnya menyetujuinya. Maka untuk sementara, terjadi deeskalasi, meski mungkin hanya untuk waktu singkat,” ujar Didin, dikutip Sabtu (28/6/2025).
Ia menjelaskan, ketegangan yang mereda berdampak pada penurunan harga minyak yang sempat naik ke level 90 dolar AS per barel, karena Iran tidak jadi menutup Selat Hormuz dan negara-negara besar seperti AS, Eropa, Rusia, dan China mendorong deeskalasi.
“Dampaknya terhadap Indonesia, untuk sementara: harga BBM dan kurs rupiah terhadap dolar AS dapat dikendalikan dan masih sesuai dengan asumsi makro APBN. Inflasi masih dapat dijaga, pasar saham pulih, dan pertumbuhan ekonomi bisa mencapai lima persen atau lebih,” ujarnya.
Kendati demikian, Didin mengingatkan bahwa potensi konflik masih besar. Pemerintah perlu terus memitigasi kemungkinan terjadinya eskalasi kembali, seperti serangan Israel terhadap Gaza yang bisa memicu balasan dari Iran, termasuk kemungkinan penutupan Selat Hormuz.
“Risiko geopolitik dan geoekonomi akan mengalami ketidakpastian tinggi. Ancaman perang besar, bahkan Perang Dunia III atau perang nuklir, tidak bisa diabaikan,” tambahnya.
Ia menegaskan, selain kebijakan ekonomi yang tepat, Pemerintah Indonesia juga harus berperan aktif dalam diplomasi global bersama negara-negara pecinta damai untuk mengupayakan perdamaian dunia.