REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pemerintah melalui PT PLN (Persero) menargetkan dua unit pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) pertama Indonesia mulai beroperasi pada 2032. Masing-masing unit berkapasitas 250 megawatt (MW) dan akan dibangun di Sumatera serta Kalimantan.
Hal ini disampaikan Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Wanhar, dalam agenda Coffee Morning di Kantor Ditjen Gatrik, Jakarta, Senin (2/6/2025). Ia menjelaskan bahwa kedua unit akan mengadopsi teknologi small modular reactor (SMR), yang dinilai paling realistis untuk target operasional pada 2032.
“Kenapa hanya 250 MW per unit? Ini adalah kapasitas yang memungkinkan untuk dikembangkan saat ini dengan SMR. Prosesnya diperkirakan memakan waktu sekitar delapan tahun,” ujar Wanhar.
Pemerintah juga mulai menghitung skenario pengembangan reaktor skala besar, yang ditargetkan bisa terealisasi antara 2035 hingga 2036.
Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo menegaskan bahwa nuklir menjadi bagian dari bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034.
Total kapasitas pembangkit yang direncanakan dari EBT mencapai 42,6 gigawatt (GW), termasuk energi surya 17,1 GW, bayu 7,2 GW, hidro 11,7 GW, panas bumi 5,2 GW, bioenergi 0,9 GW, dan nuklir 0,5 GW.
Selain EBT, RUPTL juga mencantumkan kapasitas penyimpanan energi (storage) sebesar 10,3 GW, yang terdiri atas pumped storage 4,3 GW dan battery energy storage system (BESS) sebesar 6 GW. Sistem penyimpanan ini dirancang untuk beroperasi rata-rata 4,8 jam per hari.
Darmawan menekankan pentingnya pembangunan jaringan transmisi untuk mendukung pemerataan energi bersih di seluruh wilayah Indonesia.
Tanpa transmisi, potensi energi terbarukan di daerah-daerah tidak bisa dioptimalkan.
Dengan porsi EBT dan storage mencapai 76 persen dari total 69,5 GW penambahan pembangkit, RUPTL 2025–2034 diklaim lebih progresif dibanding rencana sebelumnya. Pemerintah berharap peran PLTN akan semakin berkembang sebagai energi baseload rendah emisi.