REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah terus mendorong peningkatan inklusi keuangan agar seluruh masyarakat, terutama kelompok berpenghasilan rendah dan UMKM, memiliki akses terhadap layanan keuangan formal. Namun, meskipun kepemilikan akun perbankan sudah tinggi, pemahaman masyarakat terhadap penggunaan dan risiko layanan keuangan masih menjadi tantangan besar.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan saat ini sekitar 89 persen masyarakat Indonesia telah memiliki fasilitas perbankan. Namun, masih ada kesenjangan di beberapa daerah, terutama Maluku Utara dan Halmahera. Oleh karena itu, pemerintah akan memperkuat edukasi agar masyarakat tidak hanya memiliki rekening, tetapi juga bisa menggunakannya dengan bijak, termasuk memahami risiko investasi dan pengelolaan keuangan yang baik.
“Jadi tadi dilaporkan terkait dengan inklusi keuangan, dimana jumlah orang Indonesia yang sudah mempunyai fasilitas perbankan sekitar 89 persen. Dari segi spasial beberapa daerah juga sudah baik, kecuali misalnya di Maluku Utara, Halmahera. Oleh karena itu ke depan lebih didorong lagi yang terkait dengan pembelajaran agar mereka bisa memanfaatkan rekening dan tahu risiko investasi. BUMN diminta untuk terus mendorong literasi keuangan, agar literasi keuangan kita lebih tinggi capaiannya,” ujar Airlangga di Istana Negara, Jumat (21/3/2025) lalu.
Tingkat inklusi keuangan di Indonesia memang mengalami pertumbuhan pesat sejak diluncurkannya Strategi Nasional Keuangan Inklusif (SNKI) pada 2016. Hingga 2023, sebanyak 76,3 persen masyarakat dewasa telah memiliki akun keuangan formal, sementara 88,7 persen sudah menggunakannya. Namun, literasi keuangan masih jauh tertinggal, meskipun telah meningkat dari 49,7 persen menjadi 65,4 persen. Ini menunjukkan bahwa masih banyak masyarakat yang belum memahami cara memanfaatkan layanan keuangan dengan optimal.
“Masih terdapat beberapa kelompok sosial-ekonomi yang secara substansial belum menjangkau layanan keuangan formal. Terdapat kesenjangan cukup signifikan antara tingkat inklusi keuangan masyarakat perkotaan sebesar 91,5 persen dengan masyarakat pedesaan yang sebesar 84,8 persen. Namun demikian, tidak terdapat perbedaan yang signifikan jika berdasarkan jenis kelamin dan demografi usia,” jelas Airlangga.
Untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah menerapkan Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN) melalui Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2025. Basis data ini mengintegrasikan berbagai sumber informasi sosial dan ekonomi guna memastikan bantuan sosial dan subsidi lebih tepat sasaran. Dalam sistem ini, pemerintah telah mendata penerima manfaat berbagai program, termasuk Program Keluarga Harapan (PKH) untuk 10 juta KPM, bantuan sembako untuk 18,8 juta KPM, serta Kartu Prakerja untuk 16,4 juta peserta.
“DTSEN selaras dengan total penduduk Indonesia per 3 Februari 2025, sebanyak sekitar 93 juta keluarga dan 285,5 juta penduduk,” pungkas Airlangga.