Sabtu 22 Mar 2025 21:03 WIB

Kebijakan Efisiensi Presiden Prabowo, Industri Pariwisata Menjerit

Tanpa tindakan cepat, kata Hariyadi, dampak buruk diperkirakan akan meluas.

Rep: Antara/ Red: Erik Purnama Putra
Pekerja membersihkan area kamar hotel di Sensa Hotel Bandung, Jalan Cihampelas, Kota Bandung.
Foto: REPUBLIKA/ABDAN SYAKURA
Pekerja membersihkan area kamar hotel di Sensa Hotel Bandung, Jalan Cihampelas, Kota Bandung.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) dan Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) meminta pemerintah untuk segera memberikan relaksasi pajak, bantuan finansial, hingga meningkatkan promosi pariwisata. Upaya tersebut untuk membantu sektor pariwisata, utamanya perhotelan, di tengah dampak pemotongan anggaran sektor pariwisata.

"Kami di sini mendesak pemerintah untuk segera memberikan intervensi ini termasuk insentif pajak, bantuan finansial, dan peningkatan promosi pariwisata," ujar Ketua Bidang Litbang dan IT Badan Pimpinan Pusat (BPP) PHRI Christy Megawati dalam konferensi pers di Jakarta, Sabtu (22/3/2025).

Baca Juga

Menurut Christy, investasi itu danggap penting untuk menstabilkan sektor pariwisata yang mengalami penurunan drastis, sekaligus menjaga prospek jangka panjang industri ini di Indonesia. Christy menyebut, kebijakan efisiensi anggaran yang dicanangkan Presiden Prabowo berdampak pada operasional hotel dan menimbulkan potensi kerugian yang tidak sedikit.

Menurut hasil survei 'Sentimen Pasar Dampak Kebijakan Penghematan Anggaran Pemerintah' yang dilakukan PHRI pada Maret 2025, dari 726 responden yang merupakan pemain industri perhotelan di 30 provinsi di Indonesia, 88 persen di antaranya memprediksi mereka akan menghadapi keputusan sulit. Di antaranya, pemutusan hubungan kerja (PHK) atau pengurangan upah karyawan, untuk mengurangi beban biaya operasional.

Di sektor perhotelan yang memiliki banyak karyawan, sambung dia, hal itU berisiko menyebabkan defisit operasional dan bahkan penutupan hotel. Sebanyak 58 persen responden juga memperkirakan potensi gagal bayar pinjaman kepada bank akibat kondisi yang semakin sulit.

Dampak pemotongan anggaran juga berpengaruh pada penerimaan pajak hotel. Sebanyak 75 persen dari pelaku industri pariwisata memprediksi bahwa target pajak yang ditetapkan tidak akan tercapai.

Sementara 71 persen lainnya khawatir bahwa kerugian pendapatan hotel akan mengganggu rantai pasok industri ini. Jika situasi tidak segera diatasi, menurut Christy, sekitar 83 persen pelaku industri yakin sektor pariwisata akan mengalami penurunan lebih lanjut, yang berdampak buruk bagi ekonomi daerah yang sangat bergantung pada pariwisata.

Senada dengan Christy, Ketua Umum GIPI Hariyadi Sukamdani turut menyuarakan tentang relaksasi. Ia juga menyinggung kebijakan yang menginstruksikan kementerian dan lembaga negara untuk memangkas anggaran perjalanan dinas (perdin) hingga 50 persen.

Menurut dia, meski kebijakan tersebut memangkas sebanyak 50 persen anggaran, kenyataan di lapangan sama sekali tidak ada pemasukan sektor pariwisata. Utamanya dari hotel yang sebelumnya mendapat pesanan terkait perjalanan dinas kementerian dan lembaga.

"Kami melihat bahwa lebih baik pemerintah segera kalau memang 50 persen itu dijalankan 50 persen. Karena per hari ini yang terjadi adalah 100 persen tidak ada yang jalan," ucap Hariyadi.

Dia mendorong pemerintah untuk membelanjakan anggarannya. "Yang paling penting pemerintah segera merelaksasi atau menjalankan kembali anggarannya, karena kalau semakin lama maka dampaknya nanti akan merembet ke mana-mana," kata Hariyadi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement