REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS diprediksi cenderung bergerak melemah hingga sekitar Rp 16.400 per dolar AS pada pekan depan. Pelemahan terjadi seiring dengan faktor perang dagang Amerika Serikat (AS) serta perekonomian domestik yang diperkirakan melesu.
Mengutip Bloomberg, rupiah menutup akhir pekan lalu, Jumat (14/3/2025) dengan mengalami penguatan 78 poin atau 0,47 persen menuju level Rp 16.350 per dolar AS. “Untuk perdagangan Senin (17/3/2025), mata uang rupiah fluktuatif namun ditutup melemah di rentang Rp 16.340-Rp 16.400 per dolar AS,” kata Pengamat Mata Uang Ibrahim Assuaibi dalam keterangannya, dikutip Sabtu (15/3/2025) lalu.
Ibrahim mengatakan adanya sejumlah sentiment eksternal dan internal yang memengaruhi pergerakan Mata Uang Garuda. Dari luar negeri, terutama mengenai perang dagang. “Presiden Donald Trump mengancam akan mengenakan tarif 200 persen pada minuman beralkohol Eropa, termasuk anggur dan sampanye, sebagai balasan atas keputusan Uni Eropa untuk mengenakan tarif 50 persen pada wiski Amerika,” ujarnya. Keputusan UE, yang akan mulai berlaku pada tanggal 1 April, merupakan balasan terhadap tarif 25 persen yang baru diterapkan AS pada baja dan aluminium impor.
“Selain itu, Trump akan memberlakukan tarif timbal balik di seluruh dunia pada tanggal 2 April, yang dapat semakin memperburuk suasana hati investor,” terangnya.
Lantas, bersamaan dengan itu, data ekonomi AS baru-baru ini mengungkapkan angka inflasi yang lebih rendah. Baik indeks harga konsumen (CPI) maupun indeks harga produsen (PPI) menunjukkan tekanan inflasi yang lebih lemah dari yang diharapkan, yang memperkuat ekspektasi potensi pemotongan suku bunga oleh Federal Reserve akhir tahun ini.
Adapun, Federal Reserve dijadwalkan bertemu pada 18-19 Maret 2025 untuk membahas kebijakan suku bunga. Konsensus saat ini mengantisipasi bahwa suku bunga akan tetap tidak berubah karena inflasi yang terus-menerus dan sengketa perdagangan yang sedang berlangsung.
Sentimen eksternal lainnya yakni Bank sentral Tiongkok, People's Bank of China (PBoC) mengumumkan rencana pada Kamis untuk menerapkan instrumen moneter tambahan yang bertujuan untuk merangsang pertumbuhan. Langkah-langkah ini termasuk potensi penurunan suku bunga dan menjaga stabilitas mata uangnya di tengah lingkungan ekonomi global yang menantang.