REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Permata Institute for Economic Research (PIER) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2025 tetap solid di atas 5 persen, meskipun dihadapkan pada ketidakpastian global. Bank Indonesia diperkirakan mempertahankan suku bunga acuan di 5,75 persen hingga akhir tahun guna menjaga stabilitas, sementara inflasi diproyeksikan berada di kisaran 2,0-2,5 persen.
Kepala Ekonom PermataBank Josua Pardede mengatakan, konsumsi domestik dan investasi akan menjadi motor utama pertumbuhan. Namun, tren daya beli masyarakat mengalami perlambatan akibat pertumbuhan pendapatan riil yang stagnan.
“Terkait dengan daya beli, kami memang melihat bahwa tren daya beli ini sudah terjadi dalam lima tahun terakhir. Penyebab utamanya adalah pendapatan riil masyarakat yang mengalami perlambatan,” kata Josua dalam Public Expose Permata Bank di Jakarta, Jumat (7/3/2025).
Meski begitu, jumlah tenaga kerja di sektor formal mengalami peningkatan. Pemerintah pun terus mendorong penciptaan lapangan kerja serta menerapkan kebijakan inisiatif untuk menjaga daya beli masyarakat. Salah satunya adalah diskon listrik pada dua bulan pertama tahun ini, yang berdampak pada deflasi selama dua bulan berturut-turut.
“Misalnya, diskon listrik yang berlaku pada dua bulan pertama tahun ini. Karena itu, kita mencatat deflasi selama dua bulan berturut-turut. Artinya, ada pengeluaran yang berkurang untuk pembayaran listrik, tetapi di sisi lain, ada potensi pengeluaran lain yang bisa dialokasikan. Apalagi, jika kita melihat faktor musiman menjelang bulan Ramadan dan Idulfitri, konsumsi masyarakat biasanya meningkat, jelasnya.
Sementara itu, nilai tukar rupiah diperkirakan masih menghadapi tekanan dari faktor eksternal, terutama kebijakan Amerika Serikat terkait tarif impor dan perang dagang.
“Khususnya, tahun ini kita tahu bahwa kebijakan luar negeri, terutama dari Amerika Serikat, sangat sentral. Kebijakan terkait tarif impor AS dan potensi perang dagang menjadi perhatian utama. Namun, di sisi lain, ada kebijakan kewajiban DHE yang mulai berlaku bulan ini,” ujarnya.
Josua menambahkan, kebijakan Devisa Hasil Ekspor (DHE) diharapkan dapat membawa tambahan devisa sekitar 60–80 miliar dolar tahun ini. Hal ini dinilai dapat memperkuat stabilitas rupiah meskipun tantangan eksternal masih mendominasi.
"Dengan demikian, ada kombinasi antara tantangan eksternal dan kebijakan dalam negeri, serta upaya meningkatkan nilai tambah ekspor melalui program prioritas pemerintah dan hilirisasi. Diharapkan, meskipun dalam jangka pendek masih ada dominasi faktor eksternal, kebijakan DHE yang berhasil bisa membawa tambahan devisa sekitar 60–80 miliar dolar tahun ini. Tentunya, ini akan memberikan dampak positif bagi rupiah,” ujarnya.