Ahad 09 Feb 2025 07:47 WIB

Soal Gabung ke BRICS, Ekonom Nilai tak Berarti Indonesia Dukung Dedolarisasi 

Indonesia diharapkan bisa memperluas jaringan dari keputusan bergabung dengan BRICS.

Rep: Eva Rianti/ Red: Friska Yolandha
Pekerja staf berdiri di belakang bendera nasional Brasil, Rusia, China, Afrika Selatan, dan India untuk merapikan bendera menjelang foto bersama selama KTT BRICS di Pusat Konferensi dan Pameran Internasional Xiamen di Xiamen, Provinsi Fujian, Cina tenggara, Senin, 4 September 2017.
Foto: Hong/Pool Photo via AP
Pekerja staf berdiri di belakang bendera nasional Brasil, Rusia, China, Afrika Selatan, dan India untuk merapikan bendera menjelang foto bersama selama KTT BRICS di Pusat Konferensi dan Pameran Internasional Xiamen di Xiamen, Provinsi Fujian, Cina tenggara, Senin, 4 September 2017.

REPUBLIKA.CO.ID, BANDA ACEH -- Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengomentari soal bergabungnya Indonesia dalam organisasi BRICS (Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan), yang sempat menimbulkan pro dan kontra. Josua menilai, keputusan Indonesia menyatu ke dalam BRICS tidak berarti Indonesia mendukung dedolarisasi.

“Kita masuk BRICS bukan berarti kita mendukung dedolarisasinya China dan Rusia, karena ini dua hal yang berbeda. Kembali lagi, inisiatif kita masuk BRICS itu lebih karena mengekspansi mitra dagang kita,” kata Josua dalam acara Pelatihan Wartawan BI di Banda Aceh, Jumat (7/2/2025). 

Baca Juga

Indonesia diharapkan bisa mengambil sisi positif untuk memperluas jaringan dari langkah bergabung dengan BRICS. Terlebih saat ini Indonesia belum memiliki perjanjian perdagangan bebas/free trade agreement (FTA) dengan Brasil, Rusia, dan Afrika Selatan. Sehingga ada peluang bagi Indonesia untuk memperluas ekspor serta menggaet investasi yang lebih besar. 

“Meskipun kerugiannya mungkin image-nya, ya. Mungkin bilateral kita dengan AS harus diperkuat juga, kita harus manage (image) juga bahwa kita masuk BRICS bukan mendukung untuk ikutan single currency-nya di BRICS,” ujarnya. 

Sebelumnya, Presiden AS Donald Trump mengancam akan memberlakukan tarif 100 persen terhadap negara-negara BRICS jika mereka menciptakan mata uang baru. Dalam unggahannya di Truth Social, Trump menyatakan bahwa gagasan negara-negara BRICS berusaha meninggalkan dolar, sementara AS hanya diam dan menonton, sudah berakhir. Trump menegaskan bahwa tidak ada kemungkinan dolar AS akan tergantikan dalam perdagangan internasional. 

BRICS diketahui merupakan asosiasi antarnegara yang dibentuk pada 2006 oleh Rusia, China, India, dan Brasil. Afrika Selatan kemudian bergabung pada 2011. Sejak awal 2024, sejumlah negara lain telah bergabung dengan BRICS. 

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Departemen Pengelolaan Moneter dan Aset Sekuritas Bank Indonesia (DPMA BI) Triwahyono menyampaikan pandangannya mengenai fenomena dedolarisasi. Ia menyebut bahwa dedolarisasi berbeda dengan local currency transaction (LCT). 

Ia menerangkan, dedolarisasi artinya antidolar, atau tidak mau bertransaksi dengan menggunakan dolar. Sementara itu, LCT merupakan pilihan yang diberikan kepada pelaku usaha dalam ekspor-impor untuk bertransaksi menggunakan mata uang lokal, yang telah disepakati secara bilateral.

“LCT itu bukan dalam konteks antidolar, tapi memang dalam konteks memberi opsi kepada pelaku usaha untuk tidak tergantung hanya satu mata uang (dolar AS), tapi juga bisa menggunakan mata uang lain (mata uang lokal) dalam melakukan transaksi,” kata Triwahyono.

Ia menyebut, dengan menggunakan LCT, negara-negara yang menyepakati secara bilateral akan mengurangi ketergantungan terhadap dolar. Ia mencontohkan, ketika Indonesia menjalin kerja sama LCT dengan Malaysia, tidak ada kewajiban bagi Indonesia maupun Malaysia untuk menggunakan mata uang dolar dalam transaksi perdagangan. Indonesia dan Malaysia bisa menggunakan rupiah atau ringgit dalam transaksi perdagangan.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement