Oleh Eva Rianti
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen secara resmi akan diberlakukan per 1 Januari 2025 mendatang. Kebijakan yang menimbulkan protes di ruang publik tersebut tak terlepas dari berbagai proses yang berjalan secara birokratis di pemerintahan era Joko Widodo hingga Prabowo Subianto bersama para legislator.
Mengutip dari berbagai sumber, mulanya kebijakan kenaikan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen berangkat dari usulan yang bergulir di DPR RI. Tepatnya pada 7 Oktober 2021 pemerintah dan anggota dewan mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Sebanyak delapan dari sembilan fraksi di DPR RI menyetujui RUU HPP diundangkan, yakni Fraksi PDIP, Golkar, Gerindra, Nasdem, PKB, Demokrat, PAN, dan PPP. Hanya fraksi PKS yang menyatakan penolakan.
RUU HPP tersebut sebelum diparipurnakan telah melewati pembahasan di Komisi XI DPR RI bersama pemerintah dalam rapat Panja. Rapat Panja pada waktu itu diketuai oleh Wakil Ketua Komisi XI DPR RI dari Fraksi PDIP Dolfie Othniel Fredric Palit.
Setelah melewati proses di rapat Panja hingga disahkan di rapat paripurna, lantas Presiden RI pada waktu itu, Joko Widodo secara resmi mengumandangkan RUU HPP menjadi Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang HPP pada 29 Oktober 2021.
UU HPP terdiri dari sembilan bab yang memiliki enam ruang lingkup pengaturan, yakni ketentuan umum dan tata cara perpajakan (KUP), pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN), program pengungkapan sukarela (PPS), pajak karbon, serta cukai. Masing-masing ruang lingkup memiliki waktu pemberlakuan kebijakan yang berbeda.
Dalam Bab IV Pasal 7 UU HPP berisi penjelasan mengenai penyesuaian tarif PPN menjadi 11 persen mulai berlaku 1 April 2022, dan menjadi 12 persen mulai berlaku paling lambat 1 Januari 2025.
View this post on Instagram