Senin 07 Oct 2024 15:49 WIB

Terus Tingkatkan Serangan Bikin Ekonomi Israel Kian Terpuruk

Ekonomi Israel menanggung beban perang terpanjang dan termahal dalam sejarah Israel.

Rep: Muhammad Nursyamsi/ Red: Gita Amanda
Israel tak menampik keputusannya terus menyerang Palestina dan meluas ke berbagai negara Timur Tengah lain berdampak besar terhadap kondisi ekonomi negaranya.
Foto:

Bank Israel memperkirakan pada Mei bahwa biaya yang timbul akibat perang akan mencapai 250 miliar shekel atau 66 miliar dolar AS hingga akhir tahun depan, termasuk pengeluaran militer dan biaya sipil, seperti biaya perumahan bagi ribuan warga Israel yang terpaksa meninggalkan rumah mereka di utara dan selatan. Jumlah tersebut setara dengan sekitar 12 persen dari PDB Israel.

Biaya tersebut tampaknya akan terus meningkat karena pertempuran yang lebih sengit dengan Iran dan proksinya, termasuk Hizbullah di Libanon, menambah anggaran pertahanan pemerintah dan menunda pemulangan warga Israel ke rumah mereka di wilayah utara negara itu.

Para peneliti di Institut Studi Keamanan Nasional Israel juga pesimistis dan memperkirakan Israel akan menderita kerusakan ekonomi jangka panjang. “Penurunan tingkat pertumbuhan yang diantisipasi dalam semua skenario dibandingkan dengan perkiraan ekonomi sebelum perang dan peningkatan pengeluaran pertahanan dapat memperburuk risiko resesi yang mengingatkan pada dekade yang hilang setelah Perang Yom Kippur," tulis laporan Institut Studi Keamanan Nasional Israel.

Kepergian besar-besaran para pembayar pajak berpenghasilan tinggi akan semakin membebani keuangan Israel, yang telah terpukul akibat perang. Pemerintah telah menunda penerbitan anggaran untuk tahun depan karena harus berjuang menghadapi tuntutan yang saling bertentangan yang membuat sulit untuk menyeimbangkan pembukuannya.

"Konflik tersebut telah menyebabkan defisit anggaran Israel yang sebagian besar dari pajak atau meningkat dua kali lipat menjadi delapan persen PDB, dari empat persen sebelum perang," lanjut laporan tersebut.

Pinjaman melonjak

Pinjaman pemerintah Israel juga telah melonjak dan menjadi lebih mahal, karena investor menuntut pengembalian yang lebih tinggi untuk membeli obligasi Israel dan aset lainnya. Beberapa penurunan peringkat kredit Israel yang dilakukan oleh Fitch, Moody's, dan S&P kemungkinan akan semakin meningkatkan biaya pinjaman negara tersebut.

Coface BDi, sebuah perusahaan analisis bisnis besar di Israel, memperkirakan 60 ribu perusahaan Israel akan tutup tahun ini, naik dari rata-rata tahunan sekitar 40 ribu. Sebagian besar perusahaan tersebut berskala kecil, dengan karyawan hingga lima orang.

"Ketidakpastian berdampak buruk bagi perekonomian dan investasi," ujar CEO Startup Nation Central, lembaga nirlaba yang mempromosikan industri teknologi Israel secara global, Avi Hasson.

Dalam laporan terbarunya, Hasson memperingatkan ketahanan sektor teknologi Israel yang luar biasa sejauh ini tidak akan berkelanjutan dalam menghadapi ketidakpastian yang disebabkan konflik berkepanjangan dan kebijakan ekonomi pemerintah yang dinilai merusak.

Sektor ekonomi Israel lainnya, meski kurang penting dibanding teknologi, telah terpukul jauh lebih keras. Sektor pertanian dan konstruksi telah berjuang untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh warga Palestina yang izin kerjanya telah ditangguhkan sejak Oktober lalu, yang mendorong kenaikan harga sayuran segar dan menyebabkan penurunan tajam dalam pembangunan rumah.

Pariwisata juga terpukul, dengan jumlah kedatangan menurun tajam tahun ini. Kementerian Pariwisata Israel memperkirakan penurunan jumlah wisatawan asing telah mengakibatkan kerugian pendapatan sebesar 18,7 miliar shekel atau 4,9 miliar dolar AS sejak dimulainya perang.

Norman, sebuah hotel butik di Tel Aviv, terpaksa memberhentikan sejumlah staf dan memotong harga hingga 25 persen.

Manajer Hotel Yaron, Liberman mengatakan tingkat hunian telah turun dari di atas 80 persen sebelum perang menjadi di bawah 50 persen. "Kami tahu suatu hari nanti ketika perang berakhir, bisnis akan kembali seperti semula. Namun untuk saat ini, faktor terbesarnya adalah ketidakpastian, kapan perang akan berakhir?" tanya Liberman.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement