REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (Pushep) Akmaluddin Rachim menilai pemerintah perlu menunda pengesahan skema power wheeling yang masuk dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi dan Terbarukan (RUU EBET). Hal itu menjadi bukti perlindungan kepada masyarakat.
“Penundaan tersebut bukti bahwa pemerintah masih ada keberpihakan kepada masyarakat berupa perlindungan tarif listrik yang berisiko naik akibat implementasi power wheeling,” katanya dalam keterangan, Ahad (29/9/2024).
Akmaluddin berharap, pemerintah dan DPR ke depan tetap jeli memandang potensi dan risiko implementasi power wheeling. “Jika masih terlalu berisiko, sebaiknya ditunda dulu,” katanya.
Akmaluddin menyoroti skema power wheeling dianggap sebagai langkah awal menuju liberalisasi sektor ketenagalistrikan di Indonesia. Skema ini dinilai berpotensi mengurangi kontrol negara atas sumber daya listrik dan berisiko melemahkan perlindungan terhadap masyarakat sebagai penerima manfaat utama energi listrik.
Akibatnya, Akmaluddin menyarankan agar pemerintah mempertimbangkan kembali penerapan skema ini. Penolakan terhadap penerapan skema power wheeling karena skema ini memungkinkan pembangkit listrik swasta menjual listrik langsung kepada pelanggan.
“Prinsip monopoli negara sebagai pembeli dan penjual tunggal (single buyer, single seller/SBSS) akan terganggu dan berisiko bagi masyarakat dan negara. Sebagai dampaknya, harga listrik kemungkinan akan ditentukan oleh mekanisme pasar,” katanya.