Rabu 18 Sep 2024 09:07 WIB

Kolaborasi Pertamina & PLN Penting Untuk Ketahanan Energi Nasional

Peran BUMN perlu diperkuat demi menciptakan generasi emas.

Diskusi mengenai Penguatan BUMN Menuju Indonesia Emas 2045, di Kampus ITB (12/9/2024). Berfoto dari kiri Dr Sahat Hutajulu ST MM (paling kiri), lalu disampingnya Dzikri Firmansyah, PhD (Assistant Professor Sekolah Bisnis Manajemen ITB), Dr Eng Pandji Prawisudha (Kepala Program Studi di Teknik Mesin ITB), Dekan SBM ITB Prof Dr Ir Ignatius Pulung Nurprasetio, M SME, dan Penjabat Sementara (Pjs) Vice President Sustainability Strategy Pertamina, Fahmi Hamim Dereinda.
Foto: dok Republika
Diskusi mengenai Penguatan BUMN Menuju Indonesia Emas 2045, di Kampus ITB (12/9/2024). Berfoto dari kiri Dr Sahat Hutajulu ST MM (paling kiri), lalu disampingnya Dzikri Firmansyah, PhD (Assistant Professor Sekolah Bisnis Manajemen ITB), Dr Eng Pandji Prawisudha (Kepala Program Studi di Teknik Mesin ITB), Dekan SBM ITB Prof Dr Ir Ignatius Pulung Nurprasetio, M SME, dan Penjabat Sementara (Pjs) Vice President Sustainability Strategy Pertamina, Fahmi Hamim Dereinda.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahasiswa dan akademisi di kampus ITB, Bandung menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) yang tujuannya untuk mendukung upaya penguatan BUMN. Kegiatan ini disambut antusias, diskusinya sangat produktif dan berisi. Banyak sekali gagasan dan ide yang lahir dari event ini. Semuanya sepakat, peran badan usaha milik negara harus diperkuat, dengan maksud mewujudkan cita-cita Indonesia Emas 2045. Dialog mengenai Penguatan BUMN akan terus berlanjut ke kampus-kampus lainnya.

Di ITB, ada dua narasumber dari akademisi yang berbicara tentang ini. Yaitu, Assistant Professor di Sekolah Bisnis Manajemen ITB Dzikri Firmansyah, PhD dan Dr Eng Pandji Prawisudha, Kepala Program Studi di Teknik Mesin ITB. Mereja memberikan input untuk program-program yang telah dikerjakan Pertamina dan PLN. Kedua BUMN ini disarankan melakukan sinergi, kolaborasi dan bukan berkompetisi, untuk sama-sama menjaga ketahanan energi nasional. Sekaligus bertransformasi demi mengurangi emisi karbon.

Baca Juga

Tema yang didiskusikan yaitu, Strategi ESG: Penguatan Perusahaan Energi dan Migas di Era Transisi. Dari Pertamina, hadir Penjabat Sementara (Pjs) Vice President Sustainability Strategy, Fahmi Hamim Dereinda. Sedangkan dari PLN, ada Ricky Cahya Adrian, Vice President Dekarbonisasi. Diskusi berlangsung di Kresna Student Lounge, Sekolah Bisnis Dan Manajement (SBM) ITB, Bandung, Jawa Barat, Kamis (12/9/2024). Hadir pula Dekan SBM ITB Prof Dr Ir Ignatius Pulung Nurprasetio, M SME dan selaku moderator adalah Dr Sahat Hutajulu, ST MM.

Dalam paparan yang berjudul: Peran Pertamina Memimpin Transisi Energi Menuju Indonesia Emas 2045, Fahmi Hamim mengatakan, saat ini Indonesia menghadapi trilema energi. Yakni memastikan produksi migas berjalan optimal untuk ketahanan energi (energy security). Menjamin harga yang terjangkau dan tersedia (energy affordability). Menerapkan prinsip keberlanjutan ramah lingkungan (environmental sustainability).

Untuk menjawab tantangan trilema, Pertamina fokus menguatkan entitas bisnisnya, dengan membentuk enam subholding, yaitu upstream, gas, refinery and petrochemical, New and Renewable Energy, Commercial and Trading, dan Integrated Marine Logistics.

Khusus terkait keberlanjutan, Pertamina membentuk Sustainability Committee, yang langsung dipimpin oleh Dirut PT Pertamina. “Isu sustainability benar-benar dijadikan fondasi untuk menjalankan bisnis di Pertamina,” kata Fahmi.

Salah satu sumber energi baru yang sedang dioptimalkan adalah geothermal. Juga produksi petrokimia dari pengembangan kilang.

“Saat dibangun dulu, kilang Pertamina fokusnya untuk BBM fosil. Ke depan, fokusnya transisi energi, dan akan beralih ke fuel yang low carbon. Sehingga kilang yang ada ini akan direvitalisasi, dan pengembangannya fokus ke petrokimia,” ujarnya.

Tentang biofuel, Pertamina memang membuka peluang bisnis baru di sektor ini. Potensinya di Indonesia sedang dikaji. Dengan melihat sumber atau materialnya di Jawa Timur, Nusa Tenggara hingga Papua. Bahkan, juga melakukan penjajakan ke Brazil. Pertamina menyadari, tantangan dalam penyediaan energi baru adalah teknologi. Ada beberapa lokasi pengeboran minyak, yang sekarang mengerjakan teknologi Carbon Capture and Storage (CCS) dan Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS), agar emisi karbonnya turun.

“Jadi, Pertamina melaksanakan dua pilar penting. Pengembangan bisnis yang sudah ada, sekaligus melakukan dekarbonisasi. Sehingga hasil produksinya rendah emisi,” katanya.

Selain geothermal, pembangunan solar panel dan pengembangan bioetanol, Pertamina juga mengganti sejumlah peralatan yang mengeluarkan emisi karbon tinggi dengan listrik.

Pertamina juga melakukan pengembangan hidrogen. Yaitu, di green hydrogen di Geothermal Ulu Belu Lampung dan Lahendong, Sulawesi Utara. Bahkan, Pertamina juga menyiapkan investasi untuk masuk dalam proyek pengembangan baterei kendaraan listrik.

Menanggapi hal ini, dua akademisi dari ITB mengatakan cukup terkejut dengan begitu banyak dan luasnya area bisnis yang dikerjakan Pertamina. Pertamina tidak bisa lagi disebut perusahaan migas, tetapi bahkan sudah menjadi leader dalam bisnis energi sustainability.

Dzikri Firmansyah mengatakan, untuk menjawab tantangan zaman, karenanya di ITB telah dibuka mata kuliah sustainability, mulai tahun ini. “Bukti ITB mengukuhkan komitmennya untuk mewujudkan sustainability di Indonesia,” ujarnya.

Tentang ketahanan energi, Dzikri memaparkan apa yang terjadi di Eropa. Berkaca pada kondisi geopolitik di sana, terjadi kekurangan energi akibat disrupsi dan perang. Dan yang dilakukan, dalam upaya memenuhi energy security, mereka kembali menghidupkan PLTU batu baranya.

Dia mengingatkan Pertamina, bahwa sustainability itu penting, tapi lebih penting lagi mewujudkan ketahanan energi. Jangan sampai demi transisi energi, kita meninggalkan minyak dan gas bumi.

“Untuk apa green energy, kalau kenyataannya kekurangan energi, listriknya byar pet,” katanya. Jadi, pengembangan renewable energy penting, tapi investasi oil and gas juga tetap perlu jadi perhatian Pertamina.

Saat ini, konsumsi minyak mencapai 1,6 juta barrel per hari. Sementara produksi nasionalnya hanya mencapai 600-an ribu barel perhari. Defisit 1 juta barrel ini masih impor. “Sehingga ini ada ancaman energy security. Kita tidak bisa mewujudkan sustainability, kalau ketahanan energinya terganggu,” ujar Dzikri.

Hal lain, Dzikri mengingatkan pentingnya sinergi BUMN. Khususnya BUMN energi, seharusnya melakukan sinergi, bukan kompetisi. There is too much opportunity and too much challenges in energy sectors. Selain teknologi, juga biaya pokok produksi dan cost lainnya. Karena itu, sinergi penting agar bisa bergerak maju dan BUMN energi menjadi lebih kuat.

Dalam kaitan ini, penting mengkoneksi hubungan antara industri di BUMN dengan program akademik di kampus, utamanya untuk peningkatan kapasitas, experties, dan skill.

“PLTU, mesin uap mulai ditinggalkan. Ke depan, akan ada green teknologi. Sehingga dibutuhkan komunikasi dan kolaborasi dunia industri atau BUMN dengan kampus, dalam bentuk riset, kerja sama, magang dan seterusnya, agar dapat mengisi posisi-posisi yang dibutuhkan dan diimplementasikan dalam energi transisi,” papar Dzikri.

Dr Eng Pandji Prawisudha, dosen Teknik Mesin ITB menilai paparan dan program Pertamina sangat bagus. Bisnisnya sudah sangat luas dan berubah. Bukan lagi sekedar produksi minyak dan gas, tapi merambah ke segala bentuk energi. Karena itu, kolaborasi antara Pertamina atau BUMN dengan kampus, secara umum, perlu diperluas. Pandji, yang ikut terlibat dalam penyusunan kurikulum mengatakan, di tahun keempat, mahasiswa kini dibebaskan memilih mata kuliah dan jumlah SKS-nya.

Sehingga ada kesempatan mengembangkan multiskill, dan akan menghasilkan kelulusan yang beragam. “Jika ada request tertentu dari industri, maka kami akan menyesuaikan atau meng-customize kurikulum untuk paket dunia kerja masa depan,” katanya.

Sedikit menyinggung tentang Generasi Milenial, Gen Z dan Gen Alfa, dia menemukan keistimewaan. “Mereka terlihat seperti strawberry, tidak punya daya fight. Tetapi, tipikal mereka adalah mudah berkolaborasi dengan bidang lain. Ini adalah sebuah potensi yang bisa dipertimbangkan dunia industri,” katanya.

Sementara itu, Vice President Dekabonisasi PLN Ricky Cahya Adrian dalam paparannya yang berjudul: Accelerating Green H2 Industry for Indonesia Sustainable Future, mengatakan, PLN ikut berperan dalam pengurangan emisi karbon, salah satunya dengan mengembangkan hidrogen sebagai sumber energi hijau.

Terkait hal ini, PLN sudah membangun sejumlah proyek. Salah satunya, pengoperasian Stasiun Pengisian Hidrogen atau Hydrogen Refueling Station (HRS) pertama di Indonesia yang berlokasi di Senayan, Jakarta. Langkah agresif ini adalah untuk pemanfaatan hasil produksi hidrogen hijau dari 21 Green Hydrogen Plant yang telah dioperasikan perseroan sejak November 2023.

PLN saat ini bisa memproduksi 199 ton green hydrogen. Dari total produksi tersebut, PLN hanya menggunakan 75 ton untuk kebutuhan operasional pembangkit, sementara 124 ton sisanya bisa digunakan untuk kebutuhan lainnya. Jumlah tersebut dapat digunakan untuk melayani 424 unit cell electric vehicle, sehingga dapat menghemat impor BBM sebesar 1,55 juta liter/tahun dan menurunkan emisi karbon hingga 3,72 juta kg CO2/tahun. Untuk menjalankan program ini, PLN telah berkolaborasi dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan Indonesia Fuel Cell and Hydrogen Energy (IFHE).

Bulan ini, dibocorkan Ricky, Indonesia akan kedatangan kendaraan yang berbahan bakar hidrogen. :Kita akan menandatangani kerja sama dengan DAMRI, Transjakarta, Ditjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi dalam rangka mendatangkan bus hidrogen di Jakarta. Semoga ke depan kita akan melihat ada bus hidrogen seliweran di Jalan Thamrin-Sudirman,” ujarnya.

Serial dialog mengenai penguatan BUMN dengan kalangan akademisi akan terus berlanjut ke kampus lainnya. Nantikan informasi dan laporannya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement