Senin 09 Sep 2024 17:20 WIB

Peneliti Indef Ingatkan Pemerintah Peduli Terhadap Kelas Menengah  

Bila proporsi kelas menengah terus tergerus, maka bisa picu revolusi.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Lida Puspaningtyas
Ratusan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Cipayung menggelar aksi menolak kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dan pencabutan subsisi BBM, di depan Gedung DPRD Jawa Barat, Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Kamis (8/9). Kebijakan pemerintah yang menaikkan harga BBM dinilai tidak berpihak kepada rakyat, hanya akan memperburuk kondisi ekonomi masyarakat, terutama kelas menengah ke bawah.
Foto: Edi Yusuf/Republika
Ratusan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Cipayung menggelar aksi menolak kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dan pencabutan subsisi BBM, di depan Gedung DPRD Jawa Barat, Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Kamis (8/9). Kebijakan pemerintah yang menaikkan harga BBM dinilai tidak berpihak kepada rakyat, hanya akan memperburuk kondisi ekonomi masyarakat, terutama kelas menengah ke bawah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah dinilai memiliki pekerjaan besar dalam memulihkan pertumbuhan jumlah kelas menengah. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan jumlah kelas menengah terus mengalami penurunan sejak 2019 yang sebanyak 57,33 juta orang atau 21,45 persen menjadi 47,85 juta orang atau 17,13 persen pada 2024.

Ekonom Senior INDEF Bustanul Arifin mengingatkan pemerintah agar tetap peduli terhadap kelas menengah. Pasalnya, kelas menengah memiliki peran yang penting dalam kinerja pembangunan perekonomian.

Baca Juga

"Sekali lagi (kelas menengah) driver, mereka penentu," ujarnya dalam Diskusi Publik INDEF "Kelas Menengah Turun Kelas" yang diikuti secara daring, Senin (9/9/2024).

Lebih lanjut ia menjelaskan, kelas menengah memainkan peran sosial-politik penting, memengaruhi atau menetukan governansi, kualitas kebijakan dan pertumbuhan ekonomi.

Kelas menengah juga berperan besar dalam proses demokratisasi, kebijakan ekonomi dan perbaikan aransemen dan kualitas kelembagaan. Oleh karenanya, dukungan kelas menengah terhadap reforma kebijakan ekonomi dan politik hanya dapat terwujud jika kebijakan sejalan dengan kepentingan mereka.

Karena, tak bisa dipungkiri kelas menengah yang aktif secara politik cenderung mendukung demokrasi, walau mereka banyak tuntutan tentang kualitas pelaksanaan demokrasi itu.

"Karena mereka tidak sekedar prosedural, mereka juga ingin terlibat. Yang menarik juga kelas menengah ini antara acuh tapi sok-sok'an tidak mau terlibat tapi sebetulnya terlibat," kata dia.

Ia pun khawatir bila proporsi kelas menengah terus tergerus, maka sebuah negara cenderung dibayangi oleh revolusi. Fenomena ini bahkan sudah pernah terjadi di negara-negara Amerika Latin, seperti Venezuela, Kolombia maupun Panama.

"Indonesia perlu belajar banyak dari pengalaman revolusi di Amerika Latin, kelas menengahnya bolong, kalau turun terlalu jauh kita ngeri revolusi," kata Bustanul.

Adapun, struktur sosial-ekonomi di Amerika Latin hanya terbagi menjadi dua kelas, yakni tuan tanah dan langsung ke masyarakat kelas bawah. Dari tuan tanah, ada kelas menengah sedikit, lalu lompat ke bawah.

"That is dangerous, teori ini cukup solid. Teorinya dikenal dengan nama hollow middle, lubang di tengah itu tidak baik ya," kata dia.

Beruntungnya, kondisi kelas menengah di Indonesia belum seburuk di Amerika Latin. Oleh karenanya, ia kembali menekankan pentingnya peran pemerintah dalam memperbaiki ketimpangan ini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement