Sabtu 07 Sep 2024 06:19 WIB

Empat Jenis Penipuan Digital yang Wajib Diantisipasi Pelaku Bisnis dan Konsumen

Ancaman ini dipicu oleh penipuan digital yang semakin canggih.

Rep: Eva Rianti/ Red: A.Syalaby Ichsan
Machine learning, sebagai bagian dari kecerdasan buatan, menawarkan kemampuan luar biasa dalam menganalisis data dan membuat prediksi yang akurat.
Foto: Universitas Nusa Mandiri
Machine learning, sebagai bagian dari kecerdasan buatan, menawarkan kemampuan luar biasa dalam menganalisis data dan membuat prediksi yang akurat.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA — Sebanyak 46 persen dari pelaku bisnis belum memahami cara kerja teknologi kecerdasan buatan (AI). Temuan ini diungkapkan dalam laporan terbaru VIDA, penyedia solusi pencegahan penipuan identitas digital, yang bertajuk “Where's The Fraud: Protecting Indonesian Businesses from AI-Generated Digital Fraud”.

Dalam laporan riset ini, VIDA mengungkapkan berbagai potensi kerugian yang dapat ditimbulkan dari empat ancaman utama penipuan digital saat ini, antara lain penipuan identitas digital atau identity fraud. Ancaman ini dipicu oleh penipuan digital yang semakin canggih dan memanfaatkan teknologi AI dan deepfake.

Baca Juga

"Sebanyak, 56 persen pelaku bisnis di Indonesia telah mengalami penipuan digital. Bentuk penipuan identitas yang canggih ini menimbulkan risiko serius karena merusak kepercayaan dan meningkatkan potensi kehilangan data bagi bisnis, masalah pada hubungan antar stakeholders, dan hancurnya reputasi. Ketika penipu semakin canggih, whitepaper menyarankan agar bisnis dapat mengadopsi langkah-langkah pencegahan untuk mengatasi ancaman digital," jelas Managing Director dan Group Chief Revenue Officer VIDA Adrian Anwar dalam keterangan, Jumat (6/9/2024). 

Tipe kedua adalah rekayasa sosial.  Masyarakat di Indonesia seringkali menjadi korban berbagai jenis penipuan rekayasa sosial. Serangan phishing telah menjadi ancaman yang semakin umum dijumpai, kasus ini telah menjangkiti 67 persen pelaku bisnis di Indonesia.

Smishing, ancaman serupa yang dilakukan melalui SMS, telah berdampak pada 51 persen pelaku bisnis, sedangkan vishing—penipuan melalui suara—telah menargetkan 47 perse  pelaku bisnis. Angka ini menunjukkan urgensi akan kebutuhan terkait sistem keamanan siber yang aman dan kesadaran masyarakat untuk mengatasi ancaman yang ada disekitar ini.

Ketiga adalah pengambilalihan akun yang terjadi saat pelaku memanfaatkan kata sandi yang lemah dan kurangnya otentikasi multi-faktor melalui serangan credential stuffing dan phishing. Hal ini muncul sebagai isu yang paling marak terjadi, dimana 97 persen pelaku bisnis melaporkan upaya peretasan akun. Industri seperti keuangan, fintech, dan e-commerce sangat rentan terserang karena banyaknya informasi berharga yang dimiliki, seperti data pribadi para nasabah.

Terakhir adalah pemalsuan dokumen dan tandatangan. Jenis penipuan ini tidak hanya merusak kesahihan dokumen pelanggaran data, namun dapat merusak reputasi perusahaan, mengurangi kepercayaan nasabah, dan menjadi penyebab kerugian finansial terbesar besar.

"Dari hasil riset, 96 persen pelaku bisnis telah mengalami kasus pemalsuan dokumen dan tandatangan," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement