Kamis 29 Aug 2024 21:25 WIB

Dampak PP No 28 Tahun 2024, 25 Persen Perusahaan Diprediksi Bangkrut

Sejumlah pengusaha mengaku terdampak PP No 28 Tahun 2024

Rep: Muhyiddin / Red: Nashih Nashrullah
Iklan ruang luar (Ilustrasi)
Foto: Antara
Iklan ruang luar (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kalangan pengusaha dan pelaku industri kreatif menolak Pasal 449 dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024, yang mengatur zonasi pelarangan iklan media luar ruang dalam radius 500 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak. Karena, regulasi ini akan berdampak besar terhadap perusahaan di Indonesia dan terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK).

“Kemungkinan akan terjadi PHK, karena ini menjadi efek domino, salah satunya ke industri kreatif kelas menengah ke bawah. Jadi, dampaknya cukup signifikan,” ujar Ketua Umum (Ketum) Asosiasi Media Luar-Griya Indonesia (AMLI), Fabianus Bernadi dalam diskusi bertajuk "Kontroversi Pasal Larangan Media Luar Ruang 500 Meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak di PP nomor 28 Tahun 2024" yang digelar di Menteng, Jakarta, Rabu (28/8/2024)

Baca Juga

Pria yang akrab disapa Fabi ini bahkan sudah membuat simulasi jika PP 28 Tahun 2024 tentang kesehatan. Turunan PP ini, menetapkan aturan ketat untuk iklan produk tembakau dan rokok elektronik.

Berdasarkan Pasal 449 ayat (1), iklan tidak boleh dipasang di area sensitif seperti fasilitas kesehatan, tempat pendidikan, area bermain anak, tempat ibadah, dan angkutan umum.

Hasilnya, dari 57 perusahaan yang tersebar di 26 kota, terdampak dengan regulasi ini. Bahkan industri yang mengandalkan 75 persen mengandalkan produk rokok, sebanyak 25 persen perusahaan diprediksi langsung bangkrut.

“Contohnya di Bali, sudah adala laporan, ada festival musik yang batal dilaksanakan karena tidak mendapatkan sponsor rokok. Pengiklan tidak berani, karena takut melanggar PP 28,” ucap dia.

Fabi bahkan mengungkapkan, pihaknya tidak pernah dilibatkan dalam proses pembuatan regulasi tersebut. Padahal, ketika PP itu masih dalam bentuk rancangan (RPP), industri media luar sudah terdampak. Pasalnya, kontribusi sponsor rokok cukup besar.

“Ini bukan persoalan 500 meter dari satuan pendidikan saja. Tetapi tidak diletakkan di jalan utama. Saya kira harus dihilangkan karena reklame itu harus ditempat ramai,” kata dia.

Febi mengamini, PP ini sudah jadi. Harapannya saat ini adalah agar penerapannya ditunda dan di masa penundaan itu, melibatkan pihak pengusaha untuk diterima masukannya. “Kami minta direvisi, paling simple kembali ke Peraturan 109,” jelas dia.

Intinya, regulasi ini sulit diterapkan karena menimbulkan pemahaman beragam dan merugikan. Salah satunya, pengaturan iklan produk tembakau pada videotron yang diperlakukan layaknya media penyiaran merupakan bukti, bahwa pembuat regulasi tidak memahami produk atau objek yang diatur.

Peringatan Fabianus diamini oleh Ketua Badan Musyawarah Regulasi Dewan Periklanan Indonesia (DPI), Heri Margono. Harapannya, regulasi ini ditunda dahulu penerapannya. Asumsinya, sebuah regulasi itu harus memenuhi dua kriteria. Pertama, harus mempertimbangkan keadilan. Kedua, mengedepankan efisiensi.

“Keduanya tidak gampang. Mestinya melibatkan pihak terlibat. Supaya menjadi efisien, dan adil. Di PP ini ada yang merasa ketidakadilan,” kata Heri.

Heri mengatakan, sebelum aturan ini disahkan, DPI telah menyampaikan aspirasi kepada Kementerian Kesehatan, namun tidak pernah direspon. Ia menyayangkan sikap abai Kemenkes.

Padahal, aturan ini berdampak langsung pada pelaku usaha media luar ruang serta sektor-sektor pendukungnya, seperti desainer dan percetakan.

"Industri kreatif yang berpotensi menyerap angkatan kerja baru terancam akibat kebijakan ini," jelas dia.

Mengutip data Nielsen tahun 2019, rokok adalah kategori produk yang paling banyak diiklankan di media luar ruang dengan lebih dari 1.000 titik yang tersebar di berbagai kota di Indonesia.

“Jika dijalankan, larangan iklan ini berpotensi menekan pendapatan media luar ruang yang bergantung dari promosi produk rokok. Kerugian besar tidak hanya timbul dari biaya langsung industri, tetapi juga biaya tidak langsung seperti pembuatan materi dan iklan promosi,” ucap dia.

Situasi ini menjadi kontradiktif dengan komitmen pemerintah untuk memperkuat industri kreatif Tanah Air.

“Kita tahu bahwa industri kreatif merupakan salah satu sektor yang berpotensi menyerap angkatan kerja baru. Sektor ini bisa menjadi solusi atas tingkat pengangguran Gen Z khususnya pada rentang umur 18-24 tahun yang jumlahnya sekarang hampir 10 juta orang dan ini menjadi keresahan kita semua,” ujar dia.

Sementara, Ketua Bidang Kebijakan Publik Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Sutrisno Iwantono menyarankan agar regulasi ini direvisi. “Kalau tidak bisa dibatalkan, bisa diundur. Ditunda pelaksanaannya. Kita harapkan Pemerintah mau menampung,” kata Sutrisno.

Sebagai asosiasi multisektor, APINDO mengamini banyaknya masukan tentang PP 28/2024. Sebelum periklanan, tembakau lebih dahulu, kemudian pelaku makanan dan minuman juga perdagangan, semua mempunyai keluhan yang sama.

“Pembatasan iklan kan untuk itu, bagian dari tembakau. Konsen kita, kebijakan harusnya tidak datang tiba-tiba. Pemerintah kurang menampung aspirasi masyarakat. Ini menimbulkan gejolak luar biasa. Ini menandakan, belum ada komunikasi antara pemerintah dan pelaku usaha,” kata Sutrisno.

Bahkan, Sutrisno mengaku tidak pernah diajak pemerintah untuk membahas regulasi itu. Sehingga, regulasi tersebut kini menjadi persoalan dan akhirnya tidak bisa dilaksanakan. Misalnya, pelarangan rokok, nyatanya rokok ilegal jalan terus, industri rokok terdampak, resapan turun, ujungnya PHK.

“Kita bicara iklan punya dimensi. Iklan tidak berdiri sendiri. Semua akan terkena. Seharusnya, pemerintah melakukan kajian komprehensif, bisa menampung berbagai pihak. Pandangan konsumen seperti apa? Perlu dikaji juga,” ucap dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement