Kamis 15 Aug 2024 00:07 WIB

Rupiah Tak Lagi Tertekan, Waktunya BI Turunkan Suku Bunga?

Stabilitas rupiah yang berkesinambungan menjadi kunci titik balik sentimen investor.

Rep: Muhammad Nursyamsi/ Red: Ahmad Fikri Noor
Warga antre menukar uang rupiah.
Foto: Edi Yusuf/Republika
Warga antre menukar uang rupiah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Chief Economist and Investment Strategist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) Katarina Setiawan mengatakan stabilitas rupiah menjadi kunci pemulihan sentimen pasar. Katarina menyampaikan perubahan ekspektasi suku bunga acuan Fed Fund Rate (FFR) pada Juli membuat tekanan terhadap rupiah mulai reda.

"Kita lihat nilai tukar sangat tertekan di semester I. Setelahnya, rupiah lebih stabil maka arus dana asing kembali terjadi di pasar saham kita," ujar Katarina saat webinar di Jakarta, Rabu (14/8/2024).

Baca Juga

Katarina mengatakan stabilitas rupiah yang berkesinambungan menjadi kunci titik balik sentimen investor di pasar finansial Indonesia. Katarina menilai meredanya tekanan pada rupiah dan kembalinya arus dana asing ke pasar domestik jadi faktor suportif bagi Bank Indonesia.

"Tekanan rupiah yang mereda juga diindikasikan oleh rata-rata imbal hasil lelang SRBI yang menurun," ucap Katarina.

Katarina menilai indikator tersebut membuka ruang pemangkasan suku bunga acuan semakin menurun. BI, lanjut Katarina, dapat mempertimbangkan memangkas suku bunga seiring tren penurunan inflasi dan konsumsi domestik.

"Dari sisi fiskal, ekspansi belanja negara juga akan mendukung pertumbuhan lebih baik di semester II," sambung Katarina.

Katarina mengatakan pemerintah telah menaikkan anggaran belanja negara pada 2024 menjadi Rp 3.412 triliun atau naik sekitar Rp 87 triliun dari anggaran awal. Hal ini dialokasikan untuk belanja modal, material, dan subsidi.

"Akselerasi belanja negara diharapkan dapat menjadi faktor pendukung pertumbuhan ekonomi dan menopang likuiditas," ucap Katarina.

Katarina mencatat realisasi anggaran pada semester I baru mencapai 41 persen dari target. Katarina menyebut masih ada 60 persen belanja pemerintah yang dapat mendongkrak daya beli pada paruh kedua 2024.

"Pemerintah juga tetap harus mewaspadai faktor eksternal seperti tensi geopolitik, risiko potensi resesi AS, hingga kebijakan fiskal domestik seperti arah kebijakan pemerintahan yang baru," kata Katarina.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement