Selasa 06 Aug 2024 17:54 WIB

Ekonomi Melambat, Ekonom Desak Pemerintah Fokus pada Daya Tahan Sektor Riil

Saat ini, diperlukan dorongan pada daya beli masyarakat.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Gita Amanda
BPS melaporkan pertumbuhan ekonomi kuartal kedua 2024 mencapai 5,05 persen year on year. Pertumbuhan ini melambat bila dibandingkan kuartal pertama 2024 yang mencapai 5,11 persen YoY (ilustrasi)
Foto: ANTARA/Basri Marzuki
BPS melaporkan pertumbuhan ekonomi kuartal kedua 2024 mencapai 5,05 persen year on year. Pertumbuhan ini melambat bila dibandingkan kuartal pertama 2024 yang mencapai 5,11 persen YoY (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pertumbuhan ekonomi kuartal kedua 2024 mencapai 5,05 persen year on year (YoY). Pertumbuhan ini melambat bila dibandingkan kuartal pertama 2024 yang mencapai 5,11 persen YoY dan juga melambat bila dibandingkan kuartal kedua 2023 yang mencapai 5,17 persen YoY. 

"Jika ingin mencapai target pertumbuhan tersebut, pada sisa semester kedua, maka harus mampu mencatatkan pertumbuhan rata-rata setidaknya 5,32 persen. Meninjau kinerja pertumbuhan ekonomi selama beberapa triwulan terakhir, saya rasa kita membutuhkan extra effort untuk mencapainya," ujar Kepala Divisi Riset Ekonomi Pefindo, Suhindarto kepada Republika, Selasa (6/8/2024).

Baca Juga

Menurutnya, pemerintah harus mulai memberikan perhatian lebih pada daya tahan sektor riil ekonomi nasional. Ia melihat saat ini suku bunga tinggi sudah mulai memberikan beban dan berpengaruh ke sektor riil dan hal ini harus diantisipasi. 

"Meskipun sebelumnya dilaporkan konsumsi masyarakat masih mampu berkinerja solid di triwulan kedua, namun perlambatan inflasi pada tiga bulan terakhir tentu perlu menjadi perhatian tersendiri," ujarnya.

Saat ini, diperlukan dorongan pada daya beli masyarakat untuk bisa mengkompensasi kondisi tekanan yang diberikan dari suku bunga tinggi. Hal ini lantaran bantuan sosial kepada masyarakat saja tidak cukup. "Seperti yang kita ketahui, bantuan sosial hanya menyasar masyarakat dengan kelompok pendapatan pada desil bagian bawah saja," ujarnya.

Suhindarto mengungkapkan besarnya konsumsi masyarakat saat ini lebih ditopang oleh kalangan menengah atas yang justru dihadapkan pada berbagai disinsentif yang terjadi, seperti telah selesainya program insentif PPnBM kendaraan bermotor roda 4, kenaikan PPN, naiknya tarif cukai. Ditambah berbagai wacana yang akan menambah beban mereka seperti adanya kewajiban pemotongan penghasilan untuk Tapera, kewajiban untuk memiliki asuransi kendaraan bermotor, dan lain sebagainya. 

"Menurut saya, agar daya beli masyarakat bisa didorong kembali, pemerintah perlu memberikan skema insentif yang bisa mendorong masyrakat untuk meningkatkan konsumsinya kembali," ucapnya.

Selain itu, sisi lapangan usaha juga memerlukan berbagai insentif dan upaya-upaya signifikan dari pemerintah untuk mendorong dunia usaha lebih jauh lagi. Tingginya suku bunga seperti saat ini telah membuat perusahaan menghadapi ekonomi biaya tinggi, sehingga tidak sedikit dari mereka yang akhirnya mengambil strategi untuk bertahan alih-alih melakukan ekspansi. 

Selain itu, ketidakpastian yang timbul akibat tensi geopolitik tinggi yang terjadi saat ini juga perlu untuk diantisipasi. Jika kemudian tensi geopolitik meningkat akibat peperangan yang semakin intens di berbagai wilayah konflik, maka tidak menutup kemungkinan hal ini akan mendorong peningkatan harga komoditas, terutama harga minyak yang akan mempengaruhi biaya produksi dan distribusi di dalam negeri. 

"Jika demikian, maka hal ini akan semakin menambah beban perusahaan dan bukan tidak mungkin mereka akan dapat mem-pass through beban tersebut kepada konsumen. Sehingga pada akhirnya daya beli masyarakat akan kembali terdampak. Saya pikir beberapa hal tersebut yang perlu menjadi perhatian dan perlu kita waspadai untuk beberapa waktu mendatang," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement