Senin 15 Jul 2024 12:22 WIB

Ribuan Pabrik Ditutup, Hadapi Impor Murah dari China, Ekonomi Thailand tak Baik-baik Saja

Tahun lalu, nyaris 2.000 pabrik terpaksa tutup di Thailand.

Rep: Frederikus Bata/ Red: Friska Yolandha
BYD Qin L Dmi diluncurkan pada Auto China 2024 di Beijing, 25 April 2024. Produsen mobil Tiongkok BYD meresmikan pabrik kendaraan listrik pertamanya di Thailand pada hari Kamis, 4 Juli, sebagai bagian dari upaya perusahaan untuk berekspansi ke Asia Tenggara sekaligus menjangkau orang-orang kaya. pasar di AS dan Eropa.
Foto:

REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK --  Situasi kontras terjadi di Thailand. Produsen kendaraan listrik asal China (BYD) baru saja membuat pabrik di negara tersebut.

Tepatnya pada awal bulan ini. Itu pabrik pertama BYD di Asia Tenggara. Situasi  demikian menjadi perhatian di negeri gajah putih.

Baca Juga

Sayangnya, beberapa pekan lalu, ada peristiwa lain yang luput dari perhatian. Terjadi penutupan produsen mobil Suzuki Motor. Saat masih beroperasi, pabrikan asal Jepang ini menghasilkan sebanyak 60 ribu unit mobil per tahun.

Langkah Suzuki Motor untuk menutup pabriknya seirama dengan sejumlah perusahaan lain di negara dengan ekonomi kedua terbesar di Asia Tenggara ini. Thailand terkena dampak impor murah dari China. Ada penurunan daya saing industri karena berbagai faktor di antaranya kenaikan harga energi dan angkatan kerja yang menua.

Apa yang terjadi bukan hal baru. Tahun lalu nyaris 2.000 pabrik ditutup di Thailand. Keadaan tersebut berdampak buruk pada sektor manufaktur yang menyumbang hampir seperempat produk domestik bruto (PDB) di sana.

Hal ini membebani perekonomian hingga menyentuh angka 500 miliar dolar Amerika Serikat (AS). Banyak individu terdampak. Salah satunya pekerja bernama Chanpen Suetrong.

Perempuan berusia 54 tahun itu menghabiskan hampir dua dekade di VMC, sebuah pabrik kaca pengaman di Provinsi Samut Prakan Tengah. Pada April lalu, ia mendapat kabar, perusahaan tempatnya bekerja, ditutup. Ia pun menjadi pengangguran.

"Saya tidak punya tabungan. Saya punya uang ratusan ribu baht," kata Chanpen, dikutip dari Reuters, Senin (15/7/2024).

Ia satu-satunya pencari nafkah di keluarganya yang beranggotakan tiga orang. Suaminya dalam keadaan sakit. Mereka memiliki seorang putri remaja.

Keterpurukkan sektor manufaktor membuat Perdana Menteri Srettha Thavisin kesulitan memenuhi janji kampanyenya. Tahun lalu ia berikrar bakal menaikkan PDB tahunan menjadi lima persen selama empat tahun masa jabatannya. Dalam satu dekade terakhir, PDB Thailand sekitar 1,73 persen.

"Sektor industri telah merosot dan pemanfaatan kapasitas turun di bawah 60 persen. Jelas industri perlu beradaptasi," kata Srettha kepada Parlemen mereka, pekan lalu.

Ekonomi Thailand telah....

 

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement