Selasa 25 Jun 2024 18:58 WIB

Target Tujuh Persen tak Realistis, Ekonom Sarankan Pemerintah Fokus Daya Beli

Daya beli masyarakat saat ini dinilai cukup memprihatinkan.

Rep: Muhammad Nursyamsi/ Red: Friska Yolandha
Suasana Summarecon Mall Bandung (SUMMABA) usai pembukaan, Kamis (18/1/2024). SUMMABA hadir sebagai family mall terbaru dengan menghadirkan beragam produk unggulan mulai dari fashion, food & beverages, experience, lifestyle, entertainment, services dan berbagai produk lainnya. Selain untuk melengkapi fasilitas Summarecon Bandung, hadirnya SUMMABA diharapkan akan memberikan dampak pertumbuhan ekonomi terhadap Kota Bandung.
Foto:

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto menyebut target pertumbuhan ekonomi tujuh persen tampak tidak realistis. Eko berkaca dari rata-rata pertumbuhan ekonomi sejak era Soeharto yang cenderung berada di bawah tujuh persen. 

"Sejak era orde baru sampai sekarang, tanpa memasukkan saat krisis 98 dan pandemi pada 2020, sebetulnya secara rata-rata di pemerintahan mana pun tidak bisa tumbuh tujuh persen," ujar Eko dalam kajian bertajuk 'Presiden Baru, Persoalan Lama' di Jakarta, Selasa (25/6/2024).

Baca Juga

Eko menyampaikan Indonesia sempat menikmati pertumbuhan ekonomi sebesar sepuluh persen pada era orde baru. Namun hal tersebut tidak berlangsung lama.

Alih-alih bermimpi mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar tujuh persen, Eko menyarankan pemerintah berpikir realistis dengan menjaga pertumbuhan ekonomi di angka lima persen. 

"Kalau enam persen masih ok, tapi dengan formulasi kebijakan hanya seperti saat ini maka mempertahankan lima persen saja sudah agak susah dalam benerapa waktu terakhir ini. Indef bahkan hanya memproyeksikan 4,8 persen," ucap Eko. 

Eko memandang pesimistis tersebut cukup beralasan mengingat daya beli masyarakat masih cukup tertekan. Meski tetap mendominasi pertumbuhan ekonomi pada kuartal I dengan 41 persen, Eko menyebut andil terbesar justru datang dari konsumsi atau belanja pemerintah sebesar 20 persen. 

"Yang mendorong itu konsumsi pemerintah hampir 20 persen dalam tiga bulan pertama. Belum pernah terjadi sepanjang sejarah. Ini belanja tercepat dan tertinggi, biasanya hanya 8-10 persen, tapi sekarang dua kali lipat," sambung Eko. 

Eko mengatakan konsumsi rumah tangga terbilang melesu, bahkan saat momentum lebaran. Eko menilai hal ini merupakan salah satu indikator melemahnya daya beli masyarakat yang biasanya melesat saat lebaran. 

"Konsumsi rumah tangga saat lebaran tidak sampai lima persen, biasanya tumbuh 40 persen. Untuk pertama kalinya, ketika saat momentum lebaran, biasanya konsumsi di atas lima persen, inflasi akan naik, tapi itu tidak terjadi," lanjut Eko.

Penggunaan pendapatan masyarakat....

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement