REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Program tabungan perumahan rakyat (Tapera) mengundang komentar beragam dari masyarakat, terutama kalangan pekerja swasta dan mandiri yang turut diwajibkan untuk iuran. Seorang karyawan swasta bernama Yolanda (27 tahun), mengatakan, dirinya keberatan dengan adanya program Tapera. Menurutnya, informasi mengenai program tersebut masih sangat minim.
"Keberatan banget karena secara sepihak dan mendadak tanpa adanya persetujuan dari pekerja yang kaum mendang mending ini. Selain itu, kita tidak tahu di mana letaknya, modelnya, teknisnya juga tidak diterangkan secara gamblang," kata Yolanda kepada Republika, Kamis (6/6/2024).
Perempuan asal Bekasi itu mengaku sebenarnya dirinya ingin memiliki rumah karena merupakan kebutuhan yang penting untuk tempat berlindung. Namun, menurut pandangannya, memiliki rumah adalah hal yang rumit di Indonesia.
"Tapi agak sulit melihat mekanisme di Indonesia berbelit-belit, tidak memudahkan masyarakat," tuturnya.
Saat disinggung mengenai beberapa manfaat Tapera, seperti penghematan biaya KPR 5 persen, Yolanda menilai itu seperti iming-iming saja. Yolanda mengatakan, daripada gajinya atau pendapatannya dipotong 2,5 persen untuk Tapera, ia menyebut lebih baik untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari.
"Pada kenyataannya omongan itu (keringanan biaya KPR) tidak akan terjadi soal potongan cicilan. Kalaupun terjadi, tidak transparan. Jadi mending yang pasti-pasti saja karena masyarakat lebih butuh makan daripada rumah," jelasnya.
Lebih lanjut, Yolanda berharap pemerintah membatalkan program tersebut. Sebab program itu disinyalir akan semakin menyengsarakan rakyat. "Karena buat kebutuhan hidup saja sudah sulit, ini ditambah hal-hal yang belum pasti," tutupnya.
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono mengatakan pemberlakuan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) berpeluang diundur jika ada usulan dari DPR dan MPR.
"Jadi kalo misalnya ada usulan, apalagi DPR misalnya ketua MPR untuk diundur, menurut saya, saya sudah kontak dengan Menteri Keuangan juga, kita akan ikut," ujar Basuki di Jakarta, Kamis (6/6/2024).
Dirinya menyesal dan tidak menyangka atas timbulnya kemarahan dari masyarakat dan berbagai pihak terhadap Tapera ini.
"Dengan adanya kemarahan (terhadap Tapera) ini, saya pikir menyesal betul. Saya tidak nglegéwa (menyangka)," katanya.
Sebagai Ketua Komite Tapera, Basuki mengatakan bahwa UU Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat sudah ada sejak tahun 2016 dan penerapannya diundur hingga tahun 2027 dalam rangka membangun kredibilitas Tapera. Kendati demikian, terlepas apakah peluang Tapera diundur dari tahun 2027 jika ada usulan dari DPR-MPR RI, Basuki memastikan kebijakan Tapera tetap diberlakukan untuk masyarakat.
"Tetap jadi (diberlakukan), ya nanti tergantung putusannya wong itu undang-undang. Kenapa kita harus saling berbenturan begitu," katanya.
Sebagai informasi, berdasarkan Penjelasan atas UU Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat menyatakan bahwa pembentukan Undang-Undang tentang Tabungan Perumahan Rakyat ini merupakan pelaksanaan amanat pasal 124 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang perumahan dan Kawasan Permukiman.
Pokok-pokok substansi yang berkaitan dengan materi pengaturan dalam Undang-Undang ini meliputi asas dan tujuan, pengelolaan Tapera yang mencakup pengerahan, pemupukan dan pemanfaatan Dana Tapera, Komite Tapera, BP Tapera, pembinaan dan pengelolaan Tapera, pengelolaan aset Tapera, hak dan kewajiban, pelaporan dan akuntabilitas, pengawasan, dan sanksi administratif.
Untuk menjamin kesinambungan penyelenggaraan Tapera diatur juga peralihan kelembagaan dan seluruh asetnya dari lembaga yang ada saat ini yaitu Badan Pertimbangan Tabungan perumahan pegawai Negeri sipil ke dalam BP Tapera menurut Undang-Undang ini.