Rabu 24 Apr 2024 07:32 WIB

Dari Suku Bunga BI sampai Inflasi AS, Ini Data yang Perlu Dicermati Investor Pekan Ini

Ia menyarankan BI untuk menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin.

Karyawan beraktivitas di dekat layar elektronik yang menampilkan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).
Foto: Republika/Prayogi
Karyawan beraktivitas di dekat layar elektronik yang menampilkan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Community Lead Indo Premier Sekuritas (IPOT) Angga Septianus menyarankan kepada para pelaku pasar untuk mencermati dua sentimen selama pekan ini, yaitu suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) dan inflasi Personal Consumption Expenditure (PCE) Amerika Serikat (AS).

Terkait sentimen suku bunga BI, ia menyarankan BI untuk menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin (bps) dalam pertemuan Rabu (24/4), untuk menstabilkan mata uang rupiah yang tembus melampaui Rp 16.200 per dolar AS seiring ketegangan politik di Timur Tengah dan kuatnya ekonomi AS.

Baca Juga

"Diprediksi akan ada dua kali kenaikan (suku bunga BI) di kuartal kedua tahun ini untuk meredam penguatan dolar AS. Jadi, hindari saham-saham yang terbebani suku bunga seperti sektor telekomunikasi," ujar Angga di Jakarta, Senin (22/4/2024).

Sementara itu, terkait sentimen inflasi PCE AS, Angga memperkirakan indikator inflasi setelah Consumer Price Index (CPI) yaitu PCE AS akan meningkat menjadi 2,6 persen dibandingkan bulan lalu yang sebesar 2,5 persen, sehingga semakin memudarkan probabilitas pemotongan suku bunga jangka pendek.

Angga menjelaskan, bahwa terdapat empat sentimen yang menopang pelemahan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada pekan lalu, di antaranya pernyataan Ketua The Fed Jerome Powell, pelemahan rupiah terhadap dolar AS, kenaikan harga komoditas, dan pergerakan investor asing.

Terkait pernyataan Jerome Powell, ia menjelaskan bahwa Powell dalam pidatonya menyebut akan menunggu lebih lama dibandingkan antisipasi sebelumnya, untuk menurunkan suku bunga setelah rangkaian rilis data inflasi AS yang tercatat tetap tinggi.

"Powell menunjuk pada kurangnya kemajuan tambahan yang dicapai mengenai inflasi setelah penurunan cepat yang terlihat pada akhir tahun lalu. Ia juga mencatat bahwa kemungkinan akan membutuhkan lebih banyak waktu bagi para pejabat untuk mendapatkan keyakinan yang diperlukan bahwa inflasi AS mengarah ke sasaran The Fed sebesar 2 persen," ujar Angga.

Terkait sentimen pelemahan rupiah terhadap dolar AS, lanjutnya, harga berbagai jenis barang di pasaran berpotensi meningkat seiring dengan pelemahan nilai tukar rupiah yang menembus level Rp 16.200 per dolar AS, seiring adanya potensi kenaikan biaya produksi.

“Menariknya, BI sendiri telah menggelontorkan cadangan devisa (cadev) untuk meredakan pelemahan nilai tukar rupiah sekitar 250 juta dolar AS per hari atau sekitar Rp 4 triliun,” ujar Angga.

Menurutnya, dampak pelemahan rupiah tersebut yaitu menyebabkan kenaikan pada harga barang baku impor, kenaikan harga, dan inflasi di masyarakat.

"Penurunan ekspor 9,45 persen (yoy) dan imbas dari penurunan nilai ekspor komoditas unggulan seperti batu bara besi dan baja dan CPO serta turunannya. Ekspor ke China juga turut mengalami penurunan," ujar Angga.

Sementara itu, terkait sentimen kenaikan harga komoditas, Ia menjelaskan saat ini harga komoditas meningkat cukup signifikan dan merata dipimpin kenaikan harga nikel, seiring dampak dari nilai tukar dan juga mulai pulihnya kegiatan manufaktur di China.

"Menariknya, dampak dari larangan suplai Russia oleh LME terhadap mineral logam turut membatasi suplai global ke depannya. Rusia sudah menyumbang 91 persen stok aluminium LME pada akhir Maret, 62 persen tembaga dan 36 persen nikel," ujar Angga.

Terkait sentimen pergerakan asing, lanjutnya, investor asing keluar melanjutkan net sell pada pekan pertama sebelum Lebaran di saham LQ45, yang terbebani prospek suku bunga dan rotasi ke sektor komoditas.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement