Senin 22 Apr 2024 07:09 WIB

Ekonom Indef Ungkap Anomali Penguatan Dolar AS

Rupiah juga tertekan terhadap dolar AS.

Rep: Rahayu Subekti/ Red: Ahmad Fikri Noor
Petugas menunjukan uang dolar AS di Money Changer, Jakarta, Rabu (17/4/2024).
Foto: Republika/Thoudy Badai
Petugas menunjukan uang dolar AS di Money Changer, Jakarta, Rabu (17/4/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mengungkapkan eskalasi perang Iran-Israel memunculkan adanya anomali terhadap penguatan dolar AS. Padahal secara teori, seharusnya kondisi tersebut membuat dolar AS melemah. 

“Secara teori kalau misalnya terjadi perang harga emas akan naik secara signifikan tapi terjadi penurunan signifikan terhadap nilai tukar dolar AS,” kata Associate Indef Asmiati Malik dalam diskusi daring Indef, Sabtu (20/4/2024). 

Baca Juga

Dalam kondisi tersebut, Asmiati mengatakan hal yang menarik lainnya adalah pada saat yang sama, rupiah juga tertekan terhadap dolar. Padahal, kata dia, seharusnya dolar AS akan mengalami pelemahan namun justru terbalik.

“Berarti ini ada di luar kebiasaan yang terjadi secara teori,” ucap Asmiati. 

Dia menjelaskan, dalam kondisi perang membuat harga emas naik seharusnya membuat banyak orang melepaskan dolar. Hanya saja, Asmiati mengatakan di Amerika Serikat terjadi inflasi sehingga pemerintah menaikkan suku bunga dan membuat uang tersebut kembali ke Amerika Serikat. 

“Ini membuat likuiditas global itu tidak menyebar tapi terpusat di Amerika Serikat. Jadi meskipun perangnya ada di middle east, likuiditasnya tetap berkumpul di Amerika Serikat,” jelas Asmiati. 

Hal itu menyebabkan Indonesia menjadi salah satu negara yang tertekan dari kondisi tersebut yang terlihat dari nilai tukar rupiah. Jika dilihat dari komponen ekonomi makro baik dari investasi, ekspor, dan impor maka Indonesia sangat terintegrasi dengan perdagangan dan ekonomi global. 

“Ada beberapa pakar mengatakan kita terintegrasi cuma 25 persen tapi menurut saya ini akan lebih dari 25 persen karena kalau kita pengukuran 25 persen hanya berdasarkan pada besaran nilai ekspor dan besaran nilai impor kita ada ada biaya tambahan yang tidak dihitung di situ yakni pertambahan nilai energi atau kenaikan nilai energi dan kenaikan biaya logistik,” ungkap Asmiati. 

Sikap hawkish Bank Sentral Amerika Serikat dan eskalasi perang Iran-Israel membuat rupiah melemah terhadap dolar AS. Dilansir dari Refinitiv, rupiah ditutup turun 0,28 persen pada level Rp 16.215 per dolar AS pada Jumat (17/4/2024) yang terparah sejak 6 April 2020.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement