REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan secara secara umum sentimen di pasar keuangan global cenderung positif sejak Desember 2023. Hal tersebut didukung oleh ekspektasi penurunan suku bunga Fed Funds Rate (FFR) dan perkiraan soft landing di AS.
"Ini mendorong kembalinya aliran dana masuk ke emerging markets dan menjadi penopang penguatan pasar keuangan global, termasuk pasr keuangan Indonesia," kata Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar dalam Pertemuan Tahunan Industri Jasa Keuangan 2024 di Jakarta, Selasa (20/2/2024).
Mahendra menjelaskan, volatilitas di pasar saham, surat utang, maupun nilai tukar juga terpantau menurun. OJK menilai saat ini ketidakpastian perekonomian global mulai menurun namun masih terjadi divergensi pemulihan antarnegara.
Dia mengungkapkan, indikator perekonomian menunjukkan pertumbuhan ekonomi termoderasi di beberapa negara, khususnya di negara Uni Eropa dan China. Perlambatan pertumbuhan ekonomi mendorong inflasi turun mendekati target inflasi sehingga memberikan ruang bagi bank sentral untuk lebih akomodatif.
Saat ini di Amerika Serikat, The Fed mengisyaratkan akan menurunkan suku bunga kebijakan sebesar 75 bps pada 2024. Hal itu dengan pasar menilai ekonomi AS masih cukup resilient dan diperkirakan tidak akan mengalami resesi.
"Namun demikian, pasar masih mencermati perkembangan geopolitik ke depan, seperti eskalasi ketegangan di laut merah imbas dari konflik Timur Tengah, serta penyelenggaraan pemilihan umum sepanjang 2024 yang mencakup 50 persen populasi dunia terutama di beberapa negara utama seperti AS, Uni Eropa, India, dan Taiwan serta pemulihan ekonomi China," ungkap Mahendra.
Mahendra menambahkan, di Indonesia, leading indicators perekonomian nasional masih cukup positif. Hal tersebut ditunjukkan oleh neraca perdagangan yang masih surplus dan PMI manufaktur yang masih ekspansif.
Tingkat inflasi juga terjaga rendah pada 2023 pada level 2,61 persen secara tahunan.
"Namun demikian, masih perlu dicermati perkembangan permintaan domestik ke depan seiring masih berlanjutnya penurunan inflasi inti, penurunan optimisme konsumen, serta melandainya pertumbuhan penjualan ritel dan kendaraan bermotor," jelas Mahendra.