REPUBLIKA.CO.ID, LABUAN BAJO -- Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores (BPOLBF) terus berupaya menjadikan budaya sebagai basis nilai dan tonggak pengembangan pariwisata di Destinasi Pariwisata Super Prioritas (DPSP) Labuan Bajo secara umum dan khususnya di kawasan pariwisata terpadu destinasi Parapuar.
"Terkait dengan itu, kami mengusung pendekatan tata ruang budaya di Parapuar dengan filosofi dan nilai kearifan lokal masyarakat Manggarai yaitu Gendang One, Lingko Peang," kata Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Utama BPOLBF Frans Teguh dalam keterangan yang diterima di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), Rabu (14/2/2024).
Dengan demikian menurut dia, baik dari segi penataan ruang, bangunan, simbol, narasi, interpretasi, wisata edukasi, dan konsep yang ditawarkan di Parapuar juga adalah manifestasi dari filosofi tersebut. Dia menyampaikan hal tersebut saat melakukan diskusi bersama Budayawan Manggarai RD. Inosensius Sutam pada Selasa (13/2/2024) di Labuan Bajo.
Frans mengatakan, sebagai satuan kerja di bawah Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, BPOLBF tentu menaruh perhatian yang intensif dalam hal pelestarian budaya melalui pariwisata. Salah satu yang sedang digalakkan adalah pendekatan tata ruang budaya: Gendang One, Lingko Pe’ang pada pengembangan kawasan pariwisata terpadu destinasi Parapuar.
Dia menjelaskan Gendang One, Lingko Pe’ang adalah ruang hidup orang Manggarai yang mencerminkan kedalaman nilai-nilai warisan leluhur.
Ruang ini secara umum mencakup lima bagian, yaitu Kampung (Beo Bate Elor atau Natas Bate Labar), Rumah Adat (Mbaru bate Kaeng, Mbaru Gendang), Altar Persembahan atau Sesajian (Compang Bate Takung), Kebun (Uma Bate Duat atau Lingko), dan Sumber Air (Wae Bate Teku) adalah ruang hidup orang Manggarai yang mencerminkan kedalaman nilai-nilai warisan leluhur.
Ruang ini secara umum mencakup lima bagian, yaitu Kampung (Beo Bate Elor atau Natas Bate Labar), Rumah Adat (Mbaru bate Kaeng, Mbaru Gendang), Altar Persembahan atau Sesajian (Compang Bate Takung), Kebun (Uma Bate Duat atau Lingko) dan Sumber Air (Wae Bate Teku).
Dalam diskusi tersebut, RD Inosensius Sutam juga menyampaikan beberapa masukan seperti Way of Life orang Manggarai yaitu Kuni Agu Kalo yang harus benar-benar dimunculkan dalam tata ruang yang akan dibangun di Parapuar.
RD Inosensius Sutam mengungkapkan bahwa perencanaan tata ruang dengan unsur filosofis ini dianalogikan seperti akar tumbuhan yang sering disepelekan tetapi merupakan bagian paling penting.
"Sering kita melihat bahwa bunga, daun, buah dan menginjak akar. Seperti istilah Wake Caler Ngger Wa, Saung Bembang Ngger Eta, jadi akarnya itu harus kuat," katanya.
BPOLBF akan membuat Guidelines terkait Pengembangan Tata Ruang Budaya di Parapuar ini guna membuat Kawasan Parapuar memiliki roh atau soul budaya Manggarai. Selanjutnya, Romo Ino diharapkan dapat menjadi tenaga ahli atau narasumber dalam proses penajaman Masterplan dan DED Destinasi Parapuar.
Dalam diskusi tersebut Plt Dirut BPOLBF Frans Teguh juga didampingi Direktur Destinasi Pariwisata, Direktur Pemasaran Pariwisata, Kepala Divisi Keuangan, dan beberapa staf BPOLBF.