REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gerakan Boikot, Divestasi dan Sanksi (BDS) atas produk-produk yang terafiliasi dengan Israel hingga saat ini masih terus dilakukan. Aksi ini pun sedikit banyak berdampak pada harga saham perusahaan.
Aksi boikot telah berdampak pada performa bisnis sejumlah brand. Beberapa mengakui adanya penurunan penjualan, keuntungan, hingga berujung pemutusan kerja. Aksi boikot pun terbukti berhasil menekan kinerja perusahaan terafiliasi mendukung Israel. Berikut perkembangan saham emitennya:
McDonald's
Salah satunya adalah restoran cepat saji asal Amerika Serikat (AS) McDonald's (NYSE: MCD). Tentu, perusahaan pertama yang terlintas dalam pikiran ketika seseorang mengatakan “makanan cepat saji,” yang harus diboikot saat ini, adalah McDonald's.
Raksasa makanan cepat saji asal Amerika ini menjadi sasaran para aktivis di awal perang karena cabangnya di Israel berjanji untuk memasok makanan gratis kepada tentara Israel (IDF) selama konflik di Gaza berlangsung. Baru-baru ini, juga muncul seruan untuk memperluas dan mengintensifkan boikot ketika cabang perusahaan tersebut di Malaysia melancarkan serangan balasan hukum terhadap aktivis pro-Palestina di negara tersebut dengan tuduhan pencemaran nama baik.
Namun, terlepas dari tekanan ini, saham McDonald's belum menunjukkan tanda-tanda kemerosotan besar karena, meskipun perusahaan tersebut berada di zona merah dalam berbagai jangka waktu yang relevan, namun tidak turun secara signifikan sejak Oktober 2023.
Perusahaan ini telah bangkit dari level terendah 246 dolar AS yang dicapai pada pertengahan Oktober, dan harga sahamnya, pada saat berita ini dimuat, berada pada 292,26 dolar AS.
"Namun, dalam 30 hari terakhir, saham perusahaan mengalami sedikit penurunan sebesar 1,43 persen dan hal yang sama juga terjadi pada minggu lalu yakni 2,88 persen pada hari perdagangan terakhir 1,67 persen dan pra-pasar hari Senin 0,19 persen," seperti dikutip dari Finbold, Senin (30/1/2024).
Starbucks
Perusahaan berikutnya yang terlintas saat mendengar kata boikot adalah Starbucks Corp (NASDAQ: SBUX). Boikot terhadap waralaba ini lantaran adanya kesalahpahaman manajemen Starbucks di AS mengenai dukungan serikat pekerjanya yang secara terang-terangan mendukung Palestina.
Sayangnya dukungan tersebut belum mendapatkan lampu hijau, dan perusahaan tersebut menentang mereka dan menggugat mereka atas pelanggaran hak cipta.
Tindakan tersebut tampaknya ditafsirkan sebagai pro-Israel, sementara perusahaan tersebut mengklaim tidak memihak kedua pihak dan secara kategoris menentang kekerasan di wilayah tersebut. Apa pun penafsiran yang benar, tampaknya saham Starbucks adalah yang paling terkena dampak boikot tersebut.
"Perusahaan telah mengalami penurunan yang stabil sejak mencapai puncaknya dalam 6 bulan sebesar 107 dolar AS pada pertengahan November dan, pada saat berita ini dimuat, telah jatuh ke 92,80 dolar AS," tulis Finbold.
Secara total, saham perseroan turun 3,34 persen dalam 30 hari terakhir, 0,93 persen sejak 1 Januari, dan 1,07 persen dalam sepekan terakhir. Namun, Starbucks ditutup 0,21 persen di zona hijau pada hari Jumat dan naik 0,22 persen lagi di pra-pasar hari Senin.
Coca Cola
Selanjutnya adalah perusahaan minuman berkarbonaso Coca-Cola Co (NYSE: KO). Coke menghadapi boikot dari aktivis pro-Palestina terutama karena mengoperasikan pabrik di Atarot, sebuah pemukiman Israel di dekat Yerusalem yang dianggap sebagai pemukiman ilegal oleh kelompok pro-Palestina dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Tekanan terhadap pabrik produksi di Atarot, pada kenyataannya, telah memaksa satu perusahaan Amerika General Mills untuk keluar dari pemukiman tersebut, menurut kelompok pro-Palestina yang berbasis di Inggris, Friends of al-Aqsa (FOA), yang juga berupaya untuk melakukan hal tersebut.
Mereka meningkatkan kesadaran akan boikot Coke pada 18 November 2023. Meskipun demikian, kinerja saham Coca-Cola cukup baik dalam empat bulan terakhir dan secara umum mengalami tren naik.
"Dalam 30 hari terakhir, saham minuman ringan naik 0,75 persen. Perusahaan telah berada pada lintasan yang sedikit menurun sejak 1 Januari dan berada 0,75 persen di zona merah tahun ini. Dalam seminggu terakhir, saham KO juga turun 0,60 persen tetapi pada hari Jumat, hari perdagangan terakhir, saham KO ditutup 0,35 persen di zona hijau pada 59,37 dolar AS," tulis Finbold.