Kamis 18 Jan 2024 22:09 WIB

Menkeu Qatar Curhat, Genosida Israel Bikin Ekonomi Timur Tengah Melambat

Menurutnya, konflik tersebut sangat membutuhkan solusi non-militer.

Suasana Jalur Gaza setelah mengalami pemboman Israel, beberapa waktu lalu.
Foto: AP Photo/Ohad Zwigenberg
Suasana Jalur Gaza setelah mengalami pemboman Israel, beberapa waktu lalu.

REPUBLIKA.CO.ID, DAVOS -- Perang di Gaza dinilai akan menghantam perekonomian di Timur Tengah jika tidak diselesaikan. Hal itu diungkapkan oleh Menteri Keuangan Qatar Ali Al Kuwari kepada Reuters. Menurut dia, konflik tersebut sangat membutuhkan solusi non-militer.

Qatar, yang mediatornya terlibat dalam pembicaraan pembebasan sandera Israel oleh Hamas, juga membantu menengahi beberapa konflik regional termasuk di Afghanistan.

Baca Juga

“Solusinya adalah mencari solusi permanen untuk masalah utama di Timur Tengah yaitu masalah Palestina. Hal ini tidak dapat diselesaikan dengan tindakan militer,” kata Al Kuwari di Davos, Swiss, Kamis (18/1/2024).

“Jika Anda membiarkan masalah-masalah tersebut dalam jangka panjang tidak terselesaikan, kita akan selalu mengalami siklus kekerasan, siklus kerusuhan, dan hal ini akan selalu memperlambat kawasan ini,” katanya di sela-sela Forum Ekonomi Dunia (WEF) di resor pegunungan Swiss. .

Perang di Gaza dimulai setelah Hamas menyerbu Israel selatan pada 7 Oktober, menewaskan 1.200 orang dan menyandera 240 orang. Israel membalasnya dengan pengepungan, pemboman dan invasi yang menurut para pejabat kesehatan Gaza telah menewaskan lebih dari 24 ribu orang.

Pejuang yang didukung Iran di Lebanon, Irak dan Yaman juga menyerang sasaran di wilayah tersebut untuk mendukung warga Palestina.

Eksportir LNG terbesar Qatar juga merupakan salah satu investor terbesar di dunia melalui sovereign wealth fund (SWF) QIA dan penilaian risikonya mempunyai implikasi terhadap investasinya.

Kuwari mengatakan dalam sebuah wawancara bahwa Qatar akan mencatat surplus fiskal lagi tahun ini, meskipun lebih kecil, karena negara tersebut memperkirakan harga minyak yang sangat konservatif sebesar 60 dolar AS per barel. Surplusnya akan lebih besar jika harga tetap pada level saat ini yaitu 78 dolar AS.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement